Indonesia sangat kaya akan energi terbarukan dengan potensi lebih dari 400.000 Mega Watt (MW), 50% diantaranya atau sekitar 200.000 MW adalah potensi energi surya.
Sementara pemanfaatan energi surya sendiri saat ini baru sekitar 150 MW atau 0,08% dari potensinya. Padahal, Indonesia adalah Negara khatulistiwa yang seharusnya bisa menjadi panglima dalam pengembangan energi surya.
“Sudah menjadi budaya global, bahwa dunia bergerak cepat dalam mengurangi energi fosil dan beralih ke energi bersih yang ramah lingkungan. Tuntutan green product yang dihasilkan oleh green industry meningkat dan bahkan menjadi keharusan jika tidak ingin produk-nya dikenakan carbon border tax di tingkat global,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, di Jakarta, Kamis (2/9).
Hal ini juga telah diamanatkan oleh Presiden yang pada berbagai kesempatan menyampaikan, “Transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan harus dimulai. Green economy, green technology, dan green product harus diperkuat agar kita bisa bersaing di pasar global”.
Dadan menuturkan, saat ini pembiayaan untuk bisnis energi fosil semakin diperketat, sementara industri energi terbarukan makin pesat dan harganya makin murah dari waktu ke waktu, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
“Berdasarkan data IRENA, 2021, kapasitas PLTS di Vietnam telah mencapai 16.504 MW, meningkat drastis dalam 3 tahun. Di Malaysia sebesar 1.493 MW dan India sebesar 38.983 MW,” lanjutnya.
Mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah melalui Kementerian ESDM menargetkan terpasangnya PLTS Atap sebesar 3.600 MW secara bertahap hingga tahun 2025.
Untuk itu, Kementerian ESDM akan menerbitkan peraturan yang mendorong pemasangan PLTS Atap oleh konsumen semakin bergairah dan bergotong-royong, yaitu melalui revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan PLTS Atap.
Adapun beberapa stimulus bagi rakyat yang ingin memasang PLTS atap antara lain: ketentuan ekspor listrik dari masyarakat ke PLN ditingkatkan dari 65% menjadi 100%, jangka waktu kelebihan listrik masyarakat di PLN diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan, waktu permohonan PLTS Atap dipersingkat menjadi 5 s.d. 12 hari.
“Pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN, mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap, dibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap, serta tersedianya Pusat Pengaduan PLTS Atap untuk menerima pengaduan dari masyarakat,” imbuh Dadan.
Dalam menyiapkan revisi Peraturan Menteri terkait Penggunaan PLTS Atap, Kementerian ESDM telah mempertimbangkan dan mengantisipasi semua aspek yang menjadi concern masyarakat yang berkeinginan memasang PLTS Atap dan PLN sebagai BUMN yang ditugaskan untuk menyediakan listrik masyarakat secara seimbang.
Adapun beberapa isu yang perlu diluruskan terkait implementasi PLTS Atap, antara lain, pertama, terkait isu bisnis PLN dirugikan akibat adanya peningkatan ekspor listrik dari masyarakat. PLTS Atap tidak menyebabkan cashflow PLN merugi, namun terdapat “potensi” berkurangnya penerimaan PLN akibat penjualan listrik berkurang karena masyarakat bisa melistriki dirinya sendiri dari PLTS Atap.
Namun demikian, implementasi PLTS Atap akan dilakukan secara bertahap sehingga tidak signifikan mengurangi potensi penerimaan PLN, terlebih sampai menyebabkan cashflow PLN rugi. Di sisi lain Pemerintah juga mendorong creating demand untuk PLN kedepan yang sangat besar, antara lain kawasan industri baru, industri smelter, kompor listrik dan kendaraan listrik.
Pengembangan PLTS Atap yang ditargetkan sekitar 3.600 MW secara bertahap hingga tahun 2024/2025 berpotensi mengurangi biaya bahan bakar per unit kWh sebesar Rp.7,42 kWh dengan nilai rupiah gas total yang dapat dihemat sebesar Rp 4,12 triliun per tahun.
Kebijakan PLTS Atap juga berpihak kepada masyarakat luas, karena mengoptimalkan penghematan tagihan listrik bulanan dengan kapasitas terpasang sesuai daya langganan.
Kedua, terkait isu adanya motif PLTS Atap berubah dari semula berdasarkan green lifestyle menjadi berburu keuntungan bisnis.
Motif tersebut akan sulit terjadi karena pemasangan PLTS Atap dibatasi paling tinggi 100% dari kapasitas listrik pelanggan. Misalnya kapasitas listrik rumah sebesar 1.300 VA, maka maksimal pemasangan PLTS Atap adalah 1.300 VA tidak boleh lebih, sehingga tidak ada unsur berburu keuntungan bisnis bagi masyarakat.
Pemasangan PLTS Atap juga hanya diperbolehkan menggunakan atap, dinding, atau bagian lain dari bangunan. Pemasangan dengan memanfaatkan lahan terbuka (ground mounted) tidak diperbolehkan dalam skema ini.
Selain itu, yang lebih penting lagi berdasarkan hasil survei, realisasi ekspor listrik PLTS Atap rumah tangga ke PLN adalah sebesar 24% dari total produksinya. Sedangkan ekspor dari PLTS Atap di sektor industri sebesar 6%. Data ini menunjukkan bahwa PLTS Atap lebih banyak untuk konsumsi sendiri bukan diutamakan untuk diekspor ke PLN.
Ketiga, terkait isu PLTS Atap berdampak terhadap cashflow PLN dan menambah beban subsidi listrik, serta meningkatkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN. Hal tersebut telah dijelaskan pada poin pertama.
Hasil perhitungan yang dilakukan oleh Kementerian ESDM terhadap PLTS Atap dengan nilai kWh ekspor PLTS Atap sebesar 100% untuk menggantikan bahan bakar gas menunjukan bahwa BPP mengalami kenaikan sebesar 1,14 Rp/kWh (0,08%), subsidi naik Rp 0,079 triliun (0,15%), dan kompensasi naik Rp 0,24 triliun (1,04%) dibandingkan dengan nilai kWh ekspor PLTS Atap sebesar 65%.
Meskipun dalam perhitungan tersebut total subsidi yang harus disiapkan oleh Pemerintah adalah sebesar Rp 54,15 triliun, namun total yang akan dibayar oleh Pemerintah adalah Rp 53,92 triliun. Hal ini diakibatkan adanya pengurangan energi listrik yang dikonsumsi oleh pelanggan PLTS Atap, yang nilai penghematannya sebesar Rp 0,23 triliun.
Keempat, terkait isu dampak pada kestabilan sistem kelistrikan. Dalam upaya menjaga kestabilan sistem kelistrikan, Kementerian ESDM juga memperhatikan kurva beban (duck curve) dan pola operasi yang dilakukan PLN. Hal ini selanjutnya diantisipasi dengan adanya pengaturan untuk menjaga kestabilan sistem dengan beberapa strategi.
Pertama, wewajibkan instalasi sistem PLTS Atap mengikuti SNI dan/atau standar internasional. Dua, pelanggan PLTS Atap dari golongan tarif untuk keperluan industri, harus melaporkan rencana operasi Sistem PLTS Atap kepada Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) secara berkala sesuai dengan kebutuhan;
Tiga, pelanggan PLTS Atap dari golongan tarif untuk keperluan industri dengan kapasitas sistem PLTS Atap lebih besar dari 3 MW wajib menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca (weather forecast) yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) atau smartgrid distribusi milik Pemegang IUPTLU; dan
Empat, pemberian penugasan kepada PT PLN (Persero) untuk membangun aplikasi penggunaan PLTS Atap berbasis digital yang terintegrasi dengan sistem SCADA atau smartgrid distribusi.
Kelima, terkait isu PLTS Atap membebani keuangan PLN, semakin menyebabkan oversupply listrik dan mengakibatkan konsekuensi Take or Pay bagi PLN akibat potensi market listriknya berkurang.
Hal ini sudah dijelaskan baik pada poin pertama maupun poin ketiga. Terkait dengan oversupply dan Take or Pay listrik PLN, dijelaskan bahwa kebijakan meningkatkan ketentuan ekspor listrik ke PLN 65% menjadi 100% memberikan potensi berkurangnya penjualan PLN sebesar 0,3 TWh.
Sebagai gambaran, dengan rencana tambahan PLTS Atap 3.600 MW secara bertahap, maka potensi berkurangnya penjualan listrik PLN dengan kebijakan ketentuan ekspor listrik 65% yaitu sebesar 5,1 TWh. Namun jika ketentuan ekspor listrik ditingkatkan menjadi 100% maka penjualan listrik PLN berkurang menjadi 5,4 TWh. Apabila dibandingkan dengan perkiraan penjualan listrik PLN yang tahun ini sekitar 261 TWh, maka potensi berkurangnya penjualan PLN adalah 0,1% saja.
PLN dapat melakukan upaya demand creation mengingat masih besarnya market listrik yang bisa di-create. Pemerintah juga mendorong percepatan kawasan industri, pembangunan smelter yang membutuhkan listrik besar, juga potensi peningkatan konsumsi listrik dari pemanfaatan kompor listrik dan kendaraan listrik untuk jangka panjang.
Pengembangan PLTS Atap juga dapat menjadi peluang perluasan bisnis yang dapat dilakukan PLN untuk menekan potensi berkurangnya penerimaan yang dialaminya, seperti menjual nilai karbon dari pelanggan PLTS Atap selain pelanggan kategori industri dan bisnis.
Keenam, terkait isu PLTS Atap mengakibatkan peningkatan subsidi listrik, dan tidak tepat sasaran. Beban operasi akibat PLTS Atap tidak berdampak ke keuangan PLN namun lebih kepada tambahan subsidi listrik pada APBN.
Telah dijelaskan pada poin ketiga dan keempat bahwa akibat perubahan kebijakan ketentuan ekspor listrik 65% menjadi 100%, subsidi listrik pada APBN meningkat sekitar Rp. 0,08 triliun.
Namun perlu juga dicermati bahwa di sisi lain, terdapat manfaat positif dari implementasi PLTS Atap yaitu berpotensi mengurangi konsumsi bahan bakar gas lebih dari 47 juta MMBTU pertahun, berpotensi menyerap tenaga kerja sebanyak 121.500 orang, berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp 45 s.d 63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04 s.d 4,08 triliun untuk pengadaan kWh ekspor-impor, mendorong green product sektor jasa dan green industry, berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,58 juta ton CO2e yang akan berkontribusi langsung pada pencapaian target NDC, dan mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri dengan semakin tingginya nilai TKDN.
Ketujuh, terkait isu nilai tambah dan manfaat ekonomi PLTS Atap relatif kecil karena mayoritas impor dan menguntungkan negara produsen solar atap. Saat ini memang belum ada industri PLTS yang 100% dilakukan di dalam negeri.
TKDN PLTS masih sekitar 40%. Belum terbangunnya industri akibat market PLTS Atap di Indonesia sangat kecil. Bahkan sejak Permen ESDM 49/2018 terbit, total kapasitas terpasang PLTS Atap baru mencapai 35,56 MW (Juli 2021). Angka ini sangat kecil untuk ukuran Indonesia yang memiliki potensi surya yang besar. Untuk mendorong industri panel surya di Indonesia maka perlu didorong agar market atau konsumen PLTS Atap meningkat signifikan. Salah satunya dengan melakukan revisi Permen ESDM 49/2018 sehingga lebih menarik bagi konsumen dan membuat market tumbuh.
Jika market meningkat, maka industri PLTS dalam negeri akan terbangun, dan TKDN meningkat. Harga PLTS juga dapat semakin murah dan tidak perlu impor panel surya lagi. Untuk menuju kesana perlu melalui proses yang dikenal dengan learning curve renewable energy.
Setelah melalui learning curve renewable energy jangka pendek, Indonesia akan memenuhi kebutuhan PLTS dalam negeri sendiri, meningkatkan pemanfaatan energi bersih, menurunkan emisi gas rumah kaca dan menjaga lingkungan serta mewujudkan peran Indonesia dalam menciptakan dunia yang lebih baik. (DJE/KO)