Bangunan yang disusun dari tumpukan batu bata merah itu nampak kusam dan berlumut. Namun keberadaannya yang berdiri bawah tanah membuat candi ini terlihat unik. Ya, inilah Candi Tikus, sebuah candi yang berdiri sejak abad XIV.
Kompleks candi ini terletak di Dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Sekitar 13 km di sebelah tenggara Kota Mojokerto, tak jauh dari Kolam Segaran dan Candi Bajangratu.
Nama Candi Tikus, konon diberikan karena kondisi saat itu, daerah Temon sedang diserang hama tikus. Sehingga penduduk sekitar menjadi resah akibat gagal panen. Mendengar hal ini, Bupati Mojokerto, RAA Kromojoyo Adinegoro langsung memerintah warga untuk menyatakan perang pada tikus. Terjadi pengejaran terhadap tikus secara massal.
Masyarakat yang sudah geram gara-gara sawahnya gagal panen, turut berlarian mengejar hama sawah ini. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu selalu berlari dan masuk dalam lobang sebuah gundukan besar. Kromojoyo, sekali lagi meminta agar gundukan itu dibongkar. Ternyata di dalam gundukan terdapat sebuah candi.
“Bangunan yang ditemukan masyarakat pada saat itu sebenarnya bukan candi. Karena ini merupakan petirtaan yang artinya sumber air atau kolam,” ujar Edi Widodo, Kasi Perlindungan Pengembangan dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Mojokerto, Jawa Timur.
Berlajar dari catatan sejarah yang ada, petirtaan berfungsi sebagai tempat mengambil air suci. “Jadi di situ ada sumber airnya. Air keluar melalui pancuran-pancuran yang disebut Jaladwara,” tambahnya.
Penamaan sebuah candi atau situs kepurbakalaan, lanjutnya, menggunakan tiga kriteria. Pertama, penamaan yang bersumber dari sumber tertulis. Seperti prasasti ataupun kitab-kitab kuno. Yang kedua adalah penamaan berdasarkan peristiwa tertentu. Dan yang ketiga adalah penamaan berdasar lokasi ditemukannya situs bersejarah itu.
Menara atau miniatur bangunan yang mengelilingi bangunan induk, merupakan bagian terpenting dari gubahan arsitektur abad ke XIII-XIV. Dugaan ini semakin kuat, karena dalam kitab Nagara Kartagama pernah ditulis tentang petirtaan yang dikunjungi oleh Hayam Wuruk, Raja Majapahit. Disebutkan pula, Hayam Wuruk juga pernah mengunjungi kolam-kolam yang dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan prosesi atau upacara tertentu. Salah satunya, diperkirakan sebagai Candi Tikus.
Menurut Bernet Kempers (1954:210), Candi Tikus merupakan replika atau simbolisasi Gunung Meru (Mahameru). Kesimpulan ini diperoleh dari konsep religi yang melatarbelakangi bangunan candi. Model bangunan yang makin ke atas makin kecil, dan pada bangunan induk seakan-akan terdapat puncak utama yang dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih kecil, memperkuat dugaan itu.
Tak heran jika Candi Tikus juga dipersepsikan sebagai salah satu petirtaan tempat diadakannya prosesi upacara-upacara tertentu. Karena selain sebagai petirtaan, candi itu juga memilik dimensi religi yang sangat kental tergambar dalam model bangunannya.
Sumber lain menyebutkan, air yang menggenang di dasar Candi Tikus kerap dijadikan rujukan musim kemarau dan musim penghujan. Saat kemarau, debit air rata-rata setiap pancuran hanya 400 cm/detik. Bila lebih dari itu, berarti musim hujan telah datang.
Sejak jaman prasejarah, air dinilai memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari maupun spiritual manusia. Air dipercaya memiliki kekuatan magis untuk mensucikan sekaligus menyuburkan. Ini yang jadi alasan, mengapa banyak yang percaya, air yang keluar dari Candi Tikus memiliki kekuatan magis untuk menyuburkan sawah, menghindarkan diri dari bahaya, dan masih banyak lagi.(cornelia rosy sp, priscilla desviana)