Dua remaja itu membalik badan dengan wajah kecewa. Dari petugas di pintu masuk Lawang Sewu, ia mendapat kabar jika ruang bawah tanah bangunan lawas ini tak lagi terbuka untuk umum.
“Masih dalam perbaikan,” katanya sambil tersenyum. Dua remaja itu bergumam, “Lha kita datang ke sini pingin tahu ruang bawah tanahnya kayak apa. Yang horor kan di situ,” katanya.
Mereka datang ke Semarang sejak kemarin siang. Dan niat dari Jakarta sudah jelas, merasakan suasana mistis di ruang bawah tanah Lawang Sewu.
Meski kecewa, mereka tetap saja berkeliling, menikmati bangunan buah karya arsitek Cosman Citroen. Seperti banyak tersaji di media massa dan sosial media, Lawang Sewu dikenal karena gaya arsitekturnya yang menawan, khas gaya kolonial Belanda.
Mengutip Wikipedia, konstruksi Lawang Sewu dimulai pada 1904. Bangunan pertamanya selesai pada 1907. Lalu berangsur di sisi yang lain hingga pungkas pada tahun 1919.
Catatan di Lawang Sewu menyebutkan jika dulunya bangunan ini digunakan oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, sebuah perusahaan kereta api pertama di Hindia Belanda. Lalu memasuki masa pendudukan Jepang, tahun 1942, Lawang Sewu dikuasai tentara matahari terbit ini.
Di gedung B, tepatnya di ruang bawah tanah, disulap jadi penjara untuk menahan para pemberontak, termasuk untuk melakukan eksekusi mati.
Saat Jepang bertekuk lutut setelah Hiroshima dan Nagasaki runtuh gara-gara bom atom, Semarang pun dikuasai Belanda. Di sebuah pertempuran tahun 1945, pasukan Belanda kerap menggunakan terowongan bawah tanah yang mengarah ke gedung A itu untuk menyelinap ke kota.
Dari runtutan cerita itu lah kisah mistis tentang ruang bawah tanah Lawang Sewu tumbuh dan tersebar kemana-mana.
Legenda urban itu bahkan menginspirasi film horor berjudul Lawang Sewu: Dendam Kuntilanak. Konon, film ini lahir dari kisah yang beredar di kalangan masyarakat yang pernah datang di tempat ini. Katanya, mereka pernah melihat hantu kesakitan, tanpa kepala, bahkan Kuntilanak dan Pocong.
Apapun, Lawang Sewu sejatinya kawasan bersejarah yang menarik dikunjungi. Sensasi pintu yang katanya tak berjumlah seribu, suasana di halaman tengah saat senja, museum yang memajang kereta api dari masa ke masa, terasa cukup memanjakan mata.
Foto-foto: Tiara Aydin Sava