Dalam sebuah diskusi media yang digelar di Surabaya dua tahun lalu, muncul catatan tentang porsi pemberitaan lingkungan di media massa yang masih terbilang minim. Tiga tahun berjalan, kenyataan ini masih tak berubah. “Lingkungan hidup masih dinilai sebagai isu yang tidak seksi,” kata Eric Ireng, senior photographer indonesiaimages.net, dalam forum Diskusi Memotret Alam Liar Pamurbaya di NIN3, Jl Ketintang Madya, Surabaya, Sabtu (26/9) malam.
Dalam forum yang diprakarsai Klub Jurnalistik dan Komunitas Matanesia ini ia mengatakan, porsi pemberitaan lingkungan hidup kalah jauh dibanding berita konflik, bahkan kriminal. Padahal, kata Eric, banyak hal yang bisa digali dari lingkungan hidup di sekitar kita. “Dengan pendekatan khusus, isu ini tetap menarik perhatian audience kita,” katanya. Salah satunya, lanjut dia, dengan menggunakan pendekatan visual.
Untuk mengabarkan kondisi terkini Pantai Timur Surabaya, fotografer bisa menyodorkan apa saja yang ada di sana. Mulai dari tanaman, hingga satwa liar yang unik. “Beberapa bulan melakukan eksplorasi di Mangrove, Surabaya Timur, saya menemukan satwa yang cantik. Mereka hidup di alam liar, bertahan dan mencari makan dengan cara yang luar bisa,” papar jurnalis foto yang memiliki jam terbang 23 tahun ini.
“Sayang, di balik keindahan yang ada, kita juga melihat adanya perusakan alam yang dilakukan di beberapa tempat. Rusaknya alam liar akan memberi dampak pada satwa di sana,” sesal Eric.
Menjelaskan fenomena ini, Cipto Dwi Handono, pemerhati burung dari Sayap Surabaya mengatakan, “Satwa liar adalah bio indikator yang bisa digunakan untuk menilai, apakah lingkungan sedang bermasalah atau tidak”. Ketika lingkungan tumbuh tanpa gangguan, satwa dengan sendirinya hidup dengan nyaman.
Butuh Kearifan, Bukan Alat
Ditanya tentang bekal memotret di alam liar, Eric mengatakan, jika memang memungkinkan, alat-alat itu memang bisa digunakan. Tapi pengalamannya memotret di Mangrove, kamera dan lensa yang berat justru menghambat ruang geraknya.
“Lagipula kalau menurut saya, prinsip terpenting dalam memotret alam liar, baik tanaman atau satwa, bukan pada alat. Tapi kerarifan,” katanya. Saat upaya melebur dengan alam terganggu dorongan mendapat object bagus, kita sering seenaknya sendiri.
Memotret burung misalnya. “Ada jenis burung yang kalau sudah hinggap jadi anteng, diam saja. Karena kita ingin dapat potret burung terbang, lalu kita bikin keributan. Bahkan melempar sesuatu. Ini kan nggak bener,” katanya.