Belasan anak berkebaya warna-warni tertawa riang sembari meloncat-loncat dengan satu kaki. Engkle namanya, permainan tradisional yang dimainkan ramai-ramai menggunakan gaco atau gacuk (pecahan genting atau lantai, red) yang dilempar di tanah bergambar kotak.
Permainan ini turut meramaikan Jayengrono Festival yang digelar mulai 24 hingga 29 Juli. Juga ikut menyambut konferensi PrepCom 3 UN Habitat di Surabaya. Selain engkle, ada pula egrang yang jadi rebutan anak-anak dalam festival ini.
Anak-anak ini berasal dari kelurahan Sidotopo, berkumpul dari beberapa Sekolah Dasar, mereka nampak membaur jadi satu. Dewi, salah satu pengantar menuturkan senang dengan adanya acara ini, karena disinilah ajang anak-anak bersosialisasi satu sama lain. Ia juga berharap agar acara ini bisa diadakan tiap tahun.
“Kalau bisa diadakan tiap tahun, biar tradisi permainan ini tidak hilang, dan tetap bisa dilestarikan,” ujar Dewi.
Tak hanya menyuguhkan bermacam permainan tradisional saja, festival ini juga menampilkan sajian musik patrol. Berbeda dengan musik patrol pada umumnya, Sugeng Ribowo, pembina Grup Patrol D’Tabuhan, mengklaim musik patrolnya ini berbeda dengan yang lain. Selain menggunakan ciri khas patrol Suroboyoan yang selama ini belum ada, grupnya juga memakai barang-barang bekas sebagai alatnya. Salah satunya adalah drum yang dipakai berasal dari drum-drum bekas pabrik.
Namun, lelaki yang akrab disapa Pak Geng ini merasa sedikit kecewa. Pasalnya, dalam setiap penampilan D’Tabuhan, tamu asing hanya terkesan jadi penonton saja, tak ada interaksi. Ia menginginkan adanya interaksi karena ia hendak memperkenalkan kreasi daur ulang sampah yang dijadikan alat musik.
“UN Habitat kan konferensi yang membicarakan masalah lingkungan hidup. Saya ingin ‘menjebak’ tamu asing, dalam arti di Surabaya sini justru sampah malah buat mainan (patrol),” ujar Pak Geng.
naskah dan foto : hilda meilisa rinanda