Suara adzan terdengar sayup dari kejauhan. Terdengar sedikit parau, sesekali tersengal. Nampak benar bila si muadzin mulai berumur.
Siang itu, jam menunjukkan pukul 12.30 WIB. Terbilang cukup telat untuk menandakan datangnya waktu dzuhur. Karena di kawasan ini, normal waktu Dzuhur mestinya dimulai jam 12 kurang.
Meski demikian, satu persatu orang yang tidur di pelataran Masjid Al Mubarok, Desa Kacangan, Kecamatan Brebek, Nganjuk, terbangun dan mengambil air wudlu. Rupanya, sambil menunggu azan, mereka sengaja tidur-tiduran di sana.
Tak lama, iqomat disuarakan. Barisan jamaah mememenuhi setiap saf. Takzim. Hanya terdengar deru kipas angin menyala.
Inilah gambaran sehari-hari di Masjid Al-Mubarok, tempat beribadah umat Islam yang berdiri sejak 1745 M. Meski belum diketahui pasti siapa yang mendirikan, namun sejumlah orang percaya, masjid ini dibangun oleh Raden Tumenggung Sosro Kusuma Kantjeng, Bupati Pertama Kabupaten Nganjuk.
Warga Nganjuk juga mengenal tokoh ini sebagai Kanjeng Jimat. Konon, nama ini muncul karena sosok Sang Bupati yang saat itu dikenal sakti.
Menurut Muhammad Sururi, takmir masjid, tempat ibadah ini juga dikenal dengan nama Masjid Yoni Al-Mubarok. “Masjid Al-Mubarok adalah masjid pertama di Nganjuk,” katanya sambil tersenyum.
Jika ditelusuri sejarahnya, pernyataan ini ternyata beralasan. Sebuah catatan menyebutkan, asal mula Nganjuk memang berasal dari Kecamatan Berbek ini.
Kawasan tempat berdirinya Masjid Al-Mubarok, dulu dikenal dengan nama Kabupaten Kutha Toya Merah. Saat itu, warga di tempat ini masih menganut animisme yang kental. Asumsi ini makin kuat, karena ditemukan yoni, salah satu benda yang dikeramatkan, dan berada di dalam Masjid Al-Mubarok. Ini yang jadi alasan, mengapa orang juga menyebut masjid ini dengan nama Masjid Yoni Al-Mubarok.
Kemudian menyebar pula agama Hindu di kalangan masyarakat saat itu. Karena Nganjuk sempat tercatat sebagai wilayah kekuasaan Mojopahit. “Saya kira Hindu yang dulu berada di sini adalah Hindu Mojopahit. Yang akhirnya sekarang bergeser di Tengger dan Bali,” terang Sururi.
Kemudian seorang utusan dari Keraton Demak Bintoro, Pangeran Singosari, datang dan menduduki Kuto Toyo Merah. Barulah Islam mulai diajarkan dan masyarakat perlahan-lahan merubah keyakinannya. Kemudian didirikan sebuah tempat ibadah kecil seperti langgar untuk warga beribadah.
Tak lama setelah itu, Pangeran Singosari mendatangkan keponakannya, Raden Sosrokoesoemo, dari Grobogan, Jawa Tengah. Atas perintah dari Keraton Demak, ia dijadikan sebagai bupati di Kuto Toyo Merah yang berubah menjadi Kabupaten Berbek. Dari sana langgar kecil itu dipindahkan ke daerah Bendungan, kemudian bekasnya dijadikan oleh Raden Sosrokoesoemo menjadi sebuah masjid. Masjid itu adalah Masjid Al-Mubarok yang berdiri pada tahun 1754. Seperti yang tertulis di prasasti Sosrokusumo 1 yang terpasang di tembok masjid bagian barat.
Dilihat dari luar, Masjid Al-Mubarok ini memiliki tiga bagian utama. Dari gerbang, sudah ditambahi bagian sebagai perluasan masjid berlantai keramik. Sururi menyebutkan, sekitar 2014, ini dibangun. Sayang, bagian ini dibangun dengan gaya modern. Sehingga dari luar tidak terlihat seperti bangunan kuno dan bersejarah. Namun di sana terdapat bekas yoni, yang dijadikan sebagai jam matahari dengan ditanam besi di atasnya.
Masuk lebih dalam, terdapat bagian teras masjid yang berubin hitam. Terakhir, masjid utama yang sebagian besar masih asli interiornya sejak dibangun. Terlihat sekali konsep interior Jawa Kuno, namun tidak melepas unsur keislamannya.
Lihat saja bentuk mimbar atau tempat khotib berkhutbah. Dibuat berbahan kayu jati, mimbar itu dibuat tidak menggunakan paku. Namun hanya berupa bagian-bagian yang dipasang-pasang. Ukirannya menampilkan corak bunga-bunga. Didominasi warna emas dan merah. Tak ketinggalan pula di atasnya terdapat sebuah aksesoris terbuat dari kuningan, yang menghiasai tungkup dari mimbar.
Sururi menambahkan, tembok di bangunan utama itu sangatlah tebal. Kurang lebih mencapai satu meter. Yang mengherankan, tembok ini dibangun tanpa menggunakan semen. “Hanya bata merah yang ditumpuk. Tembok itu hanya berfungsi sebagai batas saja,” tuturnya.
Adapun tiangnya sendiri berdiri sendiri dan tidak menumpang ke tembok. Berjumlah sekitar 22 tiang bulat bercat merah tua dari bonggol kayu jati. Empat darinya yang paling besar berada di tengah. Di puncak tiang itu juga terdapat motif ukiran-ukiran.
Berbeda dengan ukiran Hindu, lanjutnya, kebanyakan kalau Hindu lebih sering menampilkan ukiran berbentuk manusia maupun dewa-dewi. Namun, jika Jawa Islam seringkali menampilkan bentuk seperti bunga melati maupun buah manggis. “Keduanya itu menggambarkan umat Islam. Misal manggis, manis dalamnya dan lembut luarnya. Seperti umat Islam yang manis budi pekertinya dan lembut perilakunya. Begitupula dengan melati, yang harum jika dinikmati,” tambah Sururi.
Sementara atapnya juga terdiri dari tiga tingkatan, yang menggambarkan tiga amalan yang tidak ada putusnya sampai kiamat nanti. Dimulai dari amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang soleh.
Di dalam masjid, juga tedapat sebuah tempat Al-Quran. Ternyata awalnya tempat itu diggunakan sebagai ‘jodang’. Atau tempat di mana seorang pengntin laki-laki menaruh seserahan, seperti bahan makanan, ke keluarga mempelai wanita.
Tidak hanya itu, masih utuh juga kentongan beserta bedug yang dianggap mistis oleh warga sekitar. Karena pernah suatu ketika, bupati Nganjuk ke-5 menyuruh untuk memindahkan bedug beserta mimbar ke Masjid Agung Nganjuk. Baru dipindahkan, kedua benda itu telah kembali lagi ke Masjid Al-Mubarok.
Ditambah lagi, terdapat ungkal kuno. Dahulu ada seorang pengikut Kanjeng Jimat yang terpaksa harus kembali ke daerah asalnya di Jawa Tengah untuk mengasah gaman (senjata). Kanjeng Jimat lalu menegurnya agar tidak perlu pulang. Sebab sudah ada di selatan masjid. Pengikut itu takjub, padahal sebelumnya tidak ada ungkal di sana. Akhirnya, ungkal itu dikenal sebagai ‘ungkal ajaib’.
Tercatat, memang masjid ini sudah beberapa kali direnovasi, terutama bagian atap dan lantainya. Pertama kali, atapnya dari sirab (kayu kecil) dan lantainya berupa batu kali yang diratakan. Kemudian pada tahun 1950, diganti atapnya dengan seng dan lantainya diganti dengan tekel. Setelah itu, pada tahun 1986, kembali direhab atapnya diganti dengan genteng dan lantainya dengan marmer.
Tidak hanya masjidnya saja yang menarik perhatian. Di belakang kompleks masjid terdapat pemakaman. Salah satunya pemakaman Kanjeng Jimat. Setiap malam Jumat, khususnya Jumat Legi dan Kliwon, selalu ramai didatangi. Umumnya mereka ingin meminta barokah. Entah sembuh dari penyakit, naik jabatan, jodoh dan lain sebagainya.
naskah dan foto : faiz fahmi