Masjid Agung Surakarta berdiri pada 1768. Meski demikian, proses pembangunannya sendiri dimulai sejak 1763, atas prakarsa Sri Susuhunan Pakubuwana III, raja kedua Kasunanan Surakarta yang memerintah pada 1749 hingga 1788.
Masjid ini didirikan setelah pergolakan politik di bumi Surakarta mereda. Mulai dari pemberontakan Mas Said, dominasi VOC, hingga lahirnya Perjanjian Salatiga, sebuah kesepakatan yang ditandatangani 17 Maret 1757 dan melibatkan Sultan Hamengku Buwono I, Sunan Pakubuwana III, VOC, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.
Rumah ibadah yang juga dikenal sebagai Mesjid Ageng Karaton Hadiningrat ini difungsikan sebagai masjid jami’, masjid yang digunakan untuk shalat berjamaah dengan jumlah makmum yang besar.
Di sisi lain, sebagai masjid kerajaan, Masjid Agung Surakarta juga difungsikan sebagai pendukung kegiatan keagamaan kerajaan. Meneruskan tradisi raja-raja Mataram Islam sebelumnya Pakubuwana III juga menjalani peran sebagai pengatur kehidupan beragama.
Ini sebabnya, masjid yang berdiri di atas tanah seluas 1 hektar ini kemudian tumbuh menjadi salah satu titik penyebaran Agama Islam di Jawa Tengah, khususnya di Solo dan sekitarnya.
Hingga kini, Masjid Agung Surakarta masih aktif digunakan sebagai tempat beribadah umat Islam. Pada saat tertentu, bangunan yang memiliki panjang 34,2 meter dan lebar 33,5 meter ini mampu menampung kurang lebih 2.000 jamaah.
Angka ini kian berlimpah saat pihak keraton menggelar kegiatan budaya seperti sekaten, hingga Maulid Nabi, peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah.
foto : tiara aydin sava