Berbagai strategi pengembangan pariwisata perbatasan atau border tourism terus dikebut Kementerian Pariwisata. Kawasan ASEAN dinilai menjadi wilayah yang potensial, salah satunya dengan menerapkan Mobile Positioning Data (MPD).
Hal itu disampaikan Menteri Pariwisata Arief Yahya saat Ministrial Meeting, atau pertemuan level menteri pariwisata di ASEAN Tourism Forum (ATF), Ha Long Bay, Vietnam, Kamis (17/1/2019).
MPD sendiri merupakan revolusi dalam metoda statistik yang berbasis pada teknologi. Meminimalisasi campur tangan manusia dalam menghitung orang, tetapi secara otomatis dilakukan machine to machine.
Jauh lebih akurat dibandingkan dengan penghitungan manual, maupun cara survey yang menggunakan sample. Teknologi bisa menjawab lebih presisi, lebih pasti, lebih meyakinkan,” kata Menpar Arief Yahya.
MPD sendiri sangat cocok diterapkan di Indonesia. Lantaran Indonesia adalah Negara kepulauan, atau archipelagic country. Lebih dari 17 ribu pulau, 108.000 kilometer di wilayah perbatasan atau cross border.
“Tentu tidak mudah menghitung sebegitu luas dan panjang daerah dengan cara manual melalui kantor Imigrasi. Solusinya gunakan teknologi,” kata Menpar Arief Yahya.
Sejak akhir tahun 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kemenpar sepakat menerapkan Metodologi MPD, Mobile Positioning Data untuk menghitung statistika data kunjungan wisatawan, terutama di kawasan perbatasan. Dulu hanya 19 daerah, sekarang sudah 25 daerah. Kemenpar memulai sejak Desember 2017, dan menggunakan formula baru pada Januari 2018
“Ada banyak kelebihan dalam penghitungan menggunakan teknologi MPD ini, dibandingkan dengan cara manual. Caranya menggunakan signal. Semua signal dari handphone bisa ditangkap oleh BTS atau antena, baik ketika mereka tidak sedang dipakai berbicara maupun pengiriman data text maupun gambar,” jelas Arief Yahya.
Waktu menghitung juga terpantau terus selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan 52 Minggu setahun. Bisa mendeteksi pengunjung di luar yang tercatat oleh Imigrasi. “Dan bisa melihat visitor, berapa lama tinggal, berapa kali datang sepanjang tahun, dan darimana negara originasinya,” ungkap Arief Yahya.
Di hari yang sama, Menpar Arief juga keliling Kota Ha Long Bay, sekaligus belajar dari Vietnam yang saat ini pertumbuhannya paling cepat di ASEAN. “Tahun 2018, Vietnam bertumbuh 21 persen, sedangkan kita hanya 14 persen. Tahun 2017, Vietnam tumbuh 29 persen, kita hanya 22 persen. Dalam tiga tahun mereka bisa double. Saya menduga kuat, karena mereka menggunakan 2 strategi mendasar,” kata Menpar Arief.
Ada dua cara Vietnam bisa seperti itu, kata Menpar Arief Yahya, Pertama, mereka melakukan deregulasi besar-besar, pemerintahannya socialism, tetapi cara pandang dan berpikirnya sangat modern dan lebih liberal.
“Maka deregulasi itu menjadi hal paling penting untuk membuat perubahan yang cepat dan smart. Kedua, pasti mereka menggunakan teknologi digital untuk kampanye,” ujarnya. (julia tri sarasdewi | foto : istimewa)