Selamat datang di negeri hoax. Sapa ini mengalir dari Doni Maulana, pengajar sekaligus anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, salah satu nara sumber Forum Klub Jurnalistik di Function Hall House of Samperna, Jumat (17/3) sore lalu.
Dalam forum bertajuk ‘Ketika (Media) Kita Berkabar Bohong’ ini Doni mengingatkan, hoax tak hanya perilaku yang berkembang dalam konteks sosial politik. “Tapi juga kehidupan sehari-hari, gaya hidup, dan lain-lain. Dalam bersosial mediapun kita juga sering tanpa sadar melakukan itu,” katanya.
Dicontohkan, potensi hoax bisa saja muncul saat kita mengupload foto jalan-jalan atau makan di resto. “Siapa tahu, saat upload itu kita sedang sedih. Jadi foto-foto indah itu untuk menutup kondisi sesungguhnya,” seloroh Doni.
Di depan peserta forum Doni juga mengingatkan, hoax adalah perilaku yang muncul dari mana saja. Dari pengguna media sosial, media mainstream, bahkan kita sebagai pengguna atau pembacanya.
Senada dengan pernyataan ini, Hendro D. Laksono, Pimpinan Umum Indonesia Images juga mengatakan, di sosial media, khususnya Facebook dan Twitter, hoax tumbuh dan mengalir dengan cepat.
“Apakah ini fenomena baru? Tidak. Saat tragedi pembunuhan dukun santet di sepanjang tahun 1998, hoax berkembang hingga menjatuhkan banyak korban,” jelasnya. Dalam konteks kini, hoax juga terbukti memberi dampak yang buruk dalam perilaku sosial.
Jatuhnya korban gara-gara isu penculikan dan pembunuhan anak-anak, pedagang dan pengusaha jajanan yang dituding mengandung narkoba, dan masih banyak lagi. “Siapa pelakunya? Apa motivasinya? Siapa yang paling dirugikan? Ini mesti dikaji bersama,” kata Hendro.
Seiring perkembangan dunia internet, hoax jadi fenomena yang berkembang tak terbendung. “Kabarnya ada 800 ribu situs yang aktif menyebar hoax. Link-link informasi ini berkembang dan masuk ke time line user sosial media yang jumlahnya mencapai puluhan juta,” jelas pendiri Klub Jurnalistik yang juga aktif sebagai dosen ini.
Diskusi yang dipandu Mamuk Ismuntoro, Editor Foto Indonesia Images sekaligus pendiri Komunitas Matanesia ini berakhir menjelang maghrib. “Kita tentu berharap, kebohongan yang berkeliaran di sekitar kita, baik bersumber dari sosial media maupun media massa, bisa disikapi secara arif. Saat kita melihat ada potensi kebohongan, jangan asal sebar. Karena saat kita ikut menyebar, kita terlibat dalam praktek kebohongan itu sendiri,” kata Mamuk mengakhiri forum diskusi.
Foto : Mamuk Ismuntoro