Tahun lalu, Central Connecticut State Univesity merilis data yang cukup memprihatinkan. Berdasar studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan Maret 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Menanggapi hal ini, Desi Yoanita, S.Sos., Med.Kom., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi di UK Petra mengatakan, minimnya tradisi membaca jelas memberi dampak buruk. Baik pada negara, maupun pada mereka yang masih belum memposisikan budaya baca sebagai prioritas.
“Kalau generasi sekarang malas membaca, maka pikiran mereka tidak akan luas. Sempit, tidak kritis, tidak terbuka. Dicekoki informasi salah pun mereka tidak akan bisa mengkritisi secara logis. Mengambil keputusan juga tanpa banyak pilihan,” jelasnya.
Celakanya, lanjut Desi, tradisi membaca juga belum muncul di perguruan tinggi, khususnya di mahasiswa. “Jangankan menulis. Membaca saja masih rendah,” sesalnya.
Kenyataan ini, lanjut Desi, makin terasa saat proses perkuliahan berjalan. Banyak tugas mahasiswa yang dikerjakan asal-asalan, karena terbiasa bekerja dalam model instan. Banyak mahasiswa yang mengerjakan tugas berdasar data internet. Bukan hasil baca buku, atau surat kabar yang dianggap terlalu berat.
Senada dengan pernyataan ini, Wina Bojonegoro, penulis buku, juga menyodorkan kesimpulan serupa. Budaya membaca di kalangan masyarakat, katanya, masih di batas yang cukup memprihatinkan. Wina menilai, ini bisa dilihat dari beberapa indikator.
“Mari bertanya, berapa anggaran belanja buku dalam sebuah keluarga? Berapa toko buku yang tutup? Berapa penerbitan yg memilih online?” jelas penulis 10 judul buku ini.
Ditambahkan, ini bukan semata soal budaya baca buku yang pindah ke online. Tapi pada trigger yang memang nyaris tidak ada, bahkan dalam keluarga atau institusi. Pegiat sastra Surabaya ini kemudian mencontohkan, saat ini ada beberapa negara yang mewajibkan muridnya baca buku dan membuat review.
“Ada juga yang mensyaratkan siswa untuk menulis buku untuk kenaikan kelas bahkan kelulusan. Di Indonesia? Nggak ada. Padahal negara berkembang itu mentalnya kudu dipaksa dulu baru bisa ke habit,” kata Wina.
Minim Peminat
Usai meluncurkan bukunya yang berjudul Radio Makes Me Horny, Ficky A. Hidajat, Direktur CEO Stars Media, menggelar roadshow ke beberapa daerah. “Dari sekian kota yang pernah saya kunjungi, animo tertinggi hanya dua kota, Solo dan Jogja,” aku Ficky.
Selebihnya, lanjut Ficky, biasa saja. “Bandingkan dengan acara-acara yang bersifat hiburan semata. Pengunjungnya pasti ramai,” candanya.
Berdasar pengalaman ini Ficky berkesimpulan, masyarakat masih memposisikan buku sebagai kebutuhan kesekian. “Saya pikir itu terkait erat dengan minat baca masyarakat yang sangat rendah,” tegasnya.
Masyarakat, katanya lagi, mungkin lebih tertarik pada tulisan yang dikemas baik secara visual atau dikemas dengan judul yang emosional. Tulisan yang mengupas sebuah ide, gagasan, atau hal yang mendalam, ternyata tidak terlalu mendapat respon.
Tentang transformasi buku cetak menjadi digital? “Ini era dimana teknologi sudah menjadi kebutuhan. Bila ada teknologi yang memungkinkan seseorang bisa pintar tanpa harus membaca, bisa jadi konsumen akan berebut membelinya,” kata Ficky.
“Itu semacam tantangan, bahwa jaman sekarang memang dituntut kreatif. Buku yang hanya dikemas begitu-begitu saja versus buku yang disajikan secara kreatif. Misal digital, ada audio-video, dan lain-lain, pasti konsumen akan banyak memilih yang kedua,” kata Ficky.
naskah : hendro d. laksono
foto : mamuk ismuntoro