Bangunan lawas dengan cat putih beserta daun pintu dan kusen berwarna biru muda ini, sekilas, sama dengan rumah lain yang ada di Jl Pandean IV, Surabaya. Namun siapa sangka, rumah ini adalah saksi bisu kelahiran Koesno Sosrodihardjo, lelaki biasa saja yang kelak menjadi Presiden Pertama RI sekaligus Proklamator Kemerdekaan Indonesia.
Setahun lalu, rumah ini sempat ramai dikunjungi banyak orang. Tak lama setelah polemik kelahiran Soekarno muncul. Saat itu, beberapa orang mencoba menyuguhkan temuan baru, Soekarno lahir di Surabaya. Sebelumnya ada yang menyebut jika Soekarno lahir di Blitar.
Peter A. Rohi, jurnalis senior dan sejarawan independen di Surabaya suatu saat mengatakan, ia menduga sejarah kelahiran Bung Karno itu memang sengaja dikaburkan untuk menjauhkan Soekarno dari basis massanya.
“Orde Baru khawatir kalau Soekarno disebut lahir di Surabaya yang mempunyai jumlah penduduk besar bisa menimbulkan gejolak. Apalagi arek-arek Suroboyo dikenal punya jiwa patriotis,” katanya.
Bersama sejumlah kenalan, Peter lalu menggelar beberapa kegiatan untuk menggali dan mempertegas fakta ini.
Keyakinan bahwa Surabaya adalah bumi kelahiran Soekarno, sebut mantan wartawan senior Sinar Harapan ini, bisa dilihat di banyak literasi sejarah. Di antaranya buku ‘Soekarno sebagai Manusia (1933)’ dan ‘Kamus Politik (1950)’.
Di buku ‘Soekarno Penyambung Lidah Rakyat (cetakan pertama 1965)’ karya Cindy Adams, Soekarno bahkan pernah berkata, “Karena bapak saya berpindah-pindah, maka ketika pindah ke Surabaya, di tempat itulah saya lahir”.
Rumah yang dimaksud adalah bangunan di Jl Peneleh IV nomor 40, Surabaya itu.
Awal Juni 1901 sekitar pukul 05.30 WIB menjelang fajar, Bung Karno lahir. Itu sebabnya, ia kelak dikenal dengan sebutan Putra Sang Fajar.
Putra pasangan Soekemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai ini terlahir tanpa pertolongan dokter maupun dukun beranak. “Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan,” kata Bung Karno, seperti ditulis di ‘Soekarno Penyambung Lidah Rakyat’.
“Satu-satunya orang yang menghadapi ibu, ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan taka da orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini,” kenangnya.
Ketika lahir, Bung Karno diberi nama Kusno. Nama ini disandang Sukarno hingga belasan tahun. Namun, Kusno sering sakit-sakitan, bahkan pada usia 11 tahun Kusno terserang penyakit thypus.
Ayah Sukarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo, kemudian berpikir jika nama Kusno tidak cocok. Sesuai kebiasaan orang Jawa, nama Kusno kemudian diganti Soekarno atau Sukarno.
Nama ini juga yang kini tertulis dalam plakat berwarna kuning keemasan di rumah Pandean Peneleh ini. Di sisi depan, pengunjung dengan mudah bisa melihat tulisan ‘Rumah Kelahiran Bung Karno’ beserta logo Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Pemkot juga mempertegas jika rumah seluas 5×14 meter itu menjadi bangunan Cagar Budaya pada tahun 2013, lewat SK Wali Kota Surabaya nomor 188.45/321/436.1.2/2013, dan disahkan oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
“Benar, rumah ini sudah diakui Pemkot sebagai bangunan Cagar Budaya. Sekitar tahun 2009 banyak peneliti yang mendatangi rumah ini untuk membenarkan kelahiran Pak Karno di sini” ujar Farida, Ketua RW setempat.
Wanita kelahiran 16 Februari 1968 ini juga menambahkan, tahun 2014, Pemkot Surabaya berusaha membeli rumah tersebut. Sayang belum menemukan titik temu soal harga.
“Pemkot ingin membeli rumah tersebut agar bangunan atas nama Pemkot, namun agak alot karena pemilik rumah mematok (harga) Rp 5 miliar karena nilai sejarahnya” ujar Farida.
Kini, rumah kelahiran Bung Karno ini ditinggali Jamilah beserta keluarganya. Sekilas, bangunan ini terkesan kurang terawat. Atap ditutup dengan triplek, tembok berwarna putih memudar, bahkan di beberapa titik catnya mulai terkelupas. Katanya, kondisi rumah ini memang dipertahankan keasliannya oleh sang pemilik. (naskah dan foto : wisang firmanto/himmarfi)