Pengunjung salah satu stan di Kampung Ilmu, Surabaya itu nyaris melompat saat terdengar suara keras, “Silahkan. Dilihat-lihat dulu. Mau cari apa?”. Lalu ia tertawa lepas. Karena suara itu datang dari Mianto, 35 tahun, salah satu pedagang yang akrab dipanggil Anto, yang ternyata duduk santai di samping toko.
Gaya Anto memang seperti itu. Suaranya lantang, mungkin terbiasa melawan suara riuh di Kampung Ilmu yang di saat tertentu memang ramai pembeli.
Kampung Ilmu, tak ubahnya kawasan idaman bagi penggemar buku. Tak hanya bagi mereka yang berkantong pas-pasan, tapi juga yang tebal sekalipun. Maklum, di tempat ini, kita tak hanya bisa membeli buku dengan harga murah. Namun buku-buku langka yang di toko buku kebanyakan sudah tidak bisa ditemui lagi.
Seperti buku Bung Karno ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ dan ‘Sarinah’, atau lukisan lama bergambar Bung Karno yang dijual jutaan rupiah. Meski buku dan beberapa majalah tersebut barang bekas, namun ada beberapa yang masih terbungkus rapi.
Siang itu, pengunjung mulai berdatangan. Para pedagang, sejak pagi sudah menyiapkan buku-buku dagangannya. Buku-buku yang beraneka ragam, mulai dari buku anak-anak sekolah, hingga buku sastra, ilmu pengetahuan populer, dan masih banyak lagi.
Seorang pengunjung datang ke toko Anto, lalu menyebut satu judul buku. Anto sigap berdiri dan sibuk mencari. Buku yang dicari langsung disodorkan pada calon pembeli. Transaksi singkat, tawar menawar, lalu serah terima uang dan barang. “Terimakasih sudah membeli,” ucap Anto mengiringi langkah perginya si pengunjung.
“Saya sudah lama jualan disini, waktu masih pertama kali bukaan tempat ini. Yah sekitar delapan tahunan lah,” kata Antok disela-sela merapikan bukunya.
Sejak usia 27 tahun, ia telah menggeluti urusan dagang buku di Kampung Ilmu. Katanya, ia termasuk orang yang menjadi saksi hidup perkembangan Kampung Ilmu. “Awalnya memang ada yang mau menggusur para pedagang buku bekas yang ada disini. Tapi semangat masyarakat yang sering kesini buat cari dan mendapatkan buku murah cukup memberikan respon positif,” terangnya.
Bentuk respon itu, lanjut dia, akhirnya terwujud dengan adanya relokasi PKL buku di Kampung Ilmu.
Sebelumnya, aku Anton, ia bersama pedagang yang lain berusaha melakukan perlawanan dengan aksi damai. Yaitu minta pendapat masyarakat Surabaya yang sering berkunjung di Kampung Ilmu.
“Sekarang pedagang bisa beraktifitas di Jalan Semarang dengan nyaman. Padahal dulu luar biasa kumuh, dan biasa digunakan sebagai tempat penimpunan sampah. Berjalannya waktu, tempat ini disulap layaknya surga dalam menambah pengetahuan,” kenangnya.
Untuk masalah biaya sewa, kata Anto, nyaris tidak ada masalah. Paling kontribusi buat biaya listrik, kebersihan dan keamanan.
“Kalau nama Kampung Ilmu itu dari mana, kalau tidak salah dibuat oleh pedagang sini sih. Ada beberapa aspek juga kalau tidak salah. Secara sosial, Kampung Ilmu ini sebagai wadah pencari nafkah. Dari aspek budaya, Kampung Ilmu ini menjadi tempat kalangan menengah ke bawah yang ingin mencari buku murah dengan harga terjangkau. Lalu yang pasti itu aspek pendidikan. Pokoknya seperti itu deh,” tambahnya.
Tidak hanya sekedar kegiatan jual beli buku saja, tempat yang buka dari pukul 08.00-24.00 ini seringkali memiliki kegiatan-kegiatan budaya yang masih kokoh dilestarikan. Salah satu kegiatan yang dari dulu ada hingga sekarang, yaitu menyangkutatihan tarian remong untuk anak-anak.
Memang Kampung Ilmu selain dikenal dengan tempat berjualan buku murah, terdapat juga acara-acara tiap bulannya. Namun jika musim hujan seperti saat ini terjadi, para pengurus dan pedagang hanya bisa menikmati aliran musik tarian remong untuk menemani keseharian mereka. Jarang sekali bagi mereka menikmati acara-acara baru dikala musim hujan datang. (gabriella garnis, nike puspitasari)