Cerita tentang Candi Borobudur selalu memukau. Tidak hanya bagi warga Indonesia, tapi juga masyarakat internasional. Selain sisi sejarah dan arsitektur candi, Borobudur juga menyimpan cerita di balik pembuatan stupa. Siapa sangka, stupa utama Borobudur ternyata alat penanda waktu atau gnomon yang memanfaatkan bayangan sinar matahari.
Mengutip web kemdikbud.go.id, Endang Soegiartini, Dosen Astronomi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, pembangunan Candi Borobudur menggunakan penghitungan arah angin, hingga jumlah stupa. Ini menjadi bukti, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengerti dan menggunakan ilmu astronomi dalam kehidupan sehari-hari.
“Kalau kita berdiri di atas puncak stupa lalu melihat ke arah pintu timur pada 21 Maret dan 21 September, kita melihat matahari muncul melewati pintu itu,” jelas Endang. Di luar tanggal itu, lanjutnya, matahari tergeser sedikit ke arah utara atau selatan. Sampai akhirnya bergeser 23,5 derajat ke utara atau selatan.
“Itu kalau dari khatulistiwa. Kemudian posisi Borobudur itu kan 7 derajat Lintang Selatan. Itu dikoreksi dengan letak stupa-stupa itu,” ujarnya.
Bahkan menurut Endang, jumlah stupa di Candi Borobudur pun melambangkan ilmu astronomi. Bentuk Candi Borobudur seperti kotak yang memiliki empat sisi. “Bentuknya mandala,” kata Endang. Ia mengatakan jumlah stupa Candi Borobudur sebanyak 4×365, ditambah satu stupa di puncak. Jumlah ini mewakili jumlah hari dalam satu tahun, dan satu hari penambahan di setiap empat tahun sekali atau tahun kabisat.
“Itu (Candi Borobudur) adalah kalender raksasa,” tegas Endang. Lebih jauh dijelaskan, dari stupa paling atas bisa dilihat bintang Polaris. Bintang polaris adalah bintang yang tidak pernah tenggelam sehingga digunakan sebagai petunjuk arah. Namun karena kondisi langit dan udara sekarang sudah tidak jernih, bintang Polaris pun sudah sulit dilihat dari puncak candi.
Borobudur dikenal sebagai candi yang didirikan pada zaman Mataram Kuno, tepatnya pada masa Dinasti Sailendra atau Wangsa Syailendra di abad ke-9. Nama candi ini muncul dalam Kitab Negarakertagama dengan sebutan Budur atau tempat pemujaan. (foto : graphicstock)