Kementerian Perindustrian mendorong percepatan pembangunan Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat. Proyek strategis ini diyakini mampu menurunkan biaya dan mempermudah akses logistik bagi manufaktur-manufaktur khususnya yang berlokasi di kawasan industri Jawa Barat.
“Kami memberikan apresiasi terhadap kerja sama antara Indonesia dan Jepang dalam pembanguan Pelabuhan Patimban ini. Industri akan berkembang kalau segera diselesaikan. Apalagi akan dibangun port khusus industri otomotif,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada Rapat Koordinasi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia di Bandung, Jawa Barat, Rabu (27/9).
Adanya pelabuhan yang porsi sahamnya sebesar 49 persen milik Jepang ini, Menperin memproyeksi ekspor otomotif bakal meningkat hingga 30 persen. Pasalnya, mayoritas produsen otomotif berada di Jawa Barat. Saat ini, produksi industri otomotif di Indonesia mencapai 1,1 juta unit per tahun dengan ekspor sebesar 200 ribu unit per tahun.
“Di samping itu bisa berperan mendukung global supply chain industri otomotif nasional,” imbuhnya. Airlangga juga berharap, Pelabuhan Patimban dapat menurunkan beban lalu lintas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta termasuk lalu lintas angkutan barang di sepanjang tol Cikampek menuju Jakarta.
“Ini menjadi wujud nyata pemerintah untuk menyelesaikan persoalan logistik. Karena kalau dari Jawa Barat ke Tanjung Priok, biayanya sebesar USD4,9 per kilometer (KM). Sedangkan, best practice di negara lain hanya USD1 per KM. Sehingga Pelabuhan Patimban mendorong industri lebih kompetitif,” paparnya.
Dasar Hukum Pembangunan Pelabuhan Patimban adalah Perpres No. 3 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional dan Perpres No 47 Tahun 2016 tentang penetapan pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang sebagai proyek strategis nasional.
Selanjutnya, Kemenperin juga mendukung penyelesaian pembangunan jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi). “Jawa Barat bagian Selatan mulai tumbuh industri garmen dan sepatu. Dengan selesainya jalur tol Bocimi ini, akses logistik juga akan menjadi lebih baik,” jelas Airlangga.
Hal tersebut seiring dengan fokus Kemenperin dalam pengembangan industri padat karya berorientasi ekspor. “Kami juga tengah mengusulkan fasilitasi insentif untuk industri padat karya berorientasi ekspor agar mendapatkan tax allowance, sama seperti sekarang yang diberikan kepada industri yang investasinya lebih dari USD100 juta,” ungkapnya.
Pada Rakorpusda tersebut, disimpulkan bahwa Pemerintah bertekad untuk memacu pengembangan sektor ekonomi yang potensial dan berdaya saing tinggi melalui peningkatan dan pemerataan kapasitas infrastruktur. Dalam hal ini, termasuk sektor manufaktur yang terus memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional.
Potensi industri Jabar
Menperin juga menyampaikan, instansinya terus mengembangkan potensi sektor industri di Jawa Barat (Jabar) karena selama ini kontribusinya cukup besar terhadap perekonomian nasional. Apalagi, dari 82 kawasan industri yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, separuhnya berlokasi di Jabar.
“Jabar merupakan wilayah yang strategis, sehingga dipacu menjadi salah satu pusat industri hulu hingga hilir. Hal ini ditandai dengan percepatan pembangunan infrastruktur di beberapa wilayah Jabar untuk menjadi magnet bagi masuknya investasi asing dan dalam negeri,” paparnya.
Menperin menegaskan, pemerintah mendorong berkembangnya sektor ekonomi potensial daerah sebagai sumber pertumbuhan baru yang disesuaikan dengan karakteristik daerah. Khusus untuk Jabar bagian Utara, industri yang potensial antara lain sektor otomotif, elektronika, makanan dan minuman, telematika, serta tekstil dan produk tekstil. Sedangkan, wilayah Jabar bagian Selatan, industri pengolahan hasil pertanian dan maritim.
Merujuk data Pemprov Jabar, provinsi dengan Ibukota Bandung ini berkontribusi sebesar 14,33 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dan menyumbang 60 persen PDB sektor industri manufaktur. Dari sisi investasi, Jawa Barat memberikan 34,46 persen dari penanaman modal asing.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah tenaga kerja berdasarkan lapangan pekerjaan utama pada tahun 2016 mencapai 120.647.697 orang, di mana yang bekerja di sektor industri sebanyak 15.975.086 orang dengan kontribusi terbesar dari Provinsi Jawa Barat sekitar 3.892.044 orang (24,93%). Selanjutnya, diikuti Jawa Tengah 3.219.793 orang (20,16%), dan Jawa Timur 2.948.203 orang (18,46%).
Oleh karena itu, dalam upaya pengembangan industri berdaya saing tinggi, yang perlu dilakukan adalah peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan vokasi dan pembangunan politeknik atau akademi komunitas di kawasan industri. “Salah satu langkah yang telah dilakukan Kemenperin, yaitu meluncurkan program pendidikan vokasi industri untuk wilayah Jabar pada Juli lalu,” ujar Menperin.
Menurutnya, program pendidikan vokasi yang mengusung konsep link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan industri tersebut guna menghasilkan tenaga kerja terampil sekaligus meningkatkan kinerja sektor industri nasional. Provinsi Jawa Barat menjadi pilihan tahap ketiga, setelah sukses digelar di Jawa Timur serta Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta.
Untuk wilayah Jabar, Kemenperin menggandeng sebanyak 140 industri dan 409 SMK dengan dilakukan penandatanganan mencapai 807 perjanjian kerja sama. “Jumlah perjanjian kerja sama itu, karena sebagian SMK dibina oleh lebih dari satu perusahaan, sesuai dengan program keahlian yang dimiliki,” tutur Airlangga.
Di samping itu, Kemenperin juga gencar menciptakan wirausaha baru di lingkungan pondok pesantren melalui program Santripreneur. Upaya ini dimaksudkan agar para lulusan pondok pesantren nanti dapat turut mendorong penumbuhan industri kecil dan menengah (IKM). Apalagi Jabar memiliki cukup banyak kota santri.
“Untuk meningkatkan skala ekonomi IKM Jabar, kami juga melakukan pendampingan yang memastikan adanya jaminan produk, keamanan dan standar. Selain itu, kami mendorong pemanfaatan teknologi dan integrasi IKM ke perekonomian digital melalui pengembangan e-smart IKM,” paparnya.