Foto jurnalistik Indonesia di masa mendatang masih dihadapkan dengan problem klasik. Mencari titik temu antara idealisasi fotografer dengan kepentingan perusahaan media. Pernyataan ini mengalir dari Oscar Motuloh dari Galeri Foto Jurnalistik Antara, salah satu nara sumber Diskusi ‘Masa Depan Foto Jurnalistik Indonesia’, Forum Imaji Indonesia yang digelar di Graha Wiyata Lt. 1, Universitas 17 Agustus 1945, Jl Semolowaru 45, Surabaya, Senin (14/12) siang.
Meski begitu, fotografer masih memiliki kesempatan untuk berkarya dalam bentuk-bentuk lain. Misalnya, membuat personal project lewat buku foto atau pameran tunggal. “Sehingga tidak ada alasan bagi fotografer untuk kemudian stagnan. Terus belajar, terus berdiskusi. Eksplorasi idealisme yang ada. Jika tidak, fotografer akan terjebak dalam mental pedagang,” papar Oscar lagi.
Mantan Direktur Biro Foto Antara yang kini aktif menjadi penanggung jawab dan kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara ini juga mengingatkan. Kualitas karya fotografer tak bergantung pada tempat dimana ia bekerja. Tapi tetap pada upaya fotografer dalam menggali source yang ada. “Kemudian karyanya sendiri. Dan ini bisa jadi nggak ada hubungannya dengan media tepat bekerja,” katanya.
Senada dengan pernyataan ini, Mamuk Ismuntoro juga mengingatkan. Sejarah panjang foto jurnalistik di Indonesia mengarah pada upaya untuk menyampaikan informasi pada publik. Dengan cara sebaik mungkin. Kadang, media tempat bekerja tak setuju dengan foto yang ada.
“Jika titik temu itu tak bisa ditemui, fotografer mungkin perlu menjajaki ruang bahkan media yang lain. Menjadi freelance harusnya bukan keterpaksaan, tapi pilihan,” tegasnya.
Sesi diskusi ini dipandu Vika Wisnu, penulis dan pengajar di Untag Surabaya. Sebelum diskusi ini, peserta forum juga diajak untuk menikmati photo slideshow bersama Fully Syafi, fotografer EPA.
foto : muhammad syaiful anwar