Ada benarnya jika ada yang mengatakan jaman memang sudah berubah. Pada tahun 1990-an, saat telepon genggam belum menjadi sahabat manusia, kantong penjualan buku bekas di Surabaya nyaris tak pernah sepi. Misal, bursa buku bekas di Pasar Blauran Surabaya.
Kala itu, bursa buku bekas Pasar Blauran bak surga bagi pelajar dan mahasiswa yang doyan buku tapi berkantong pas-pasan. Karena di tempat ini mereka bisa berbelanja buku dengan harga murah, terpaut jauh dari toko buku yang bertebaran di tengah kota.
“Kini bisa laku tiga aja sudah bagus,” aku salah satu pedagang di tempat ini. Itu pun kadang bukan buku, tapi majalah. Selebihnya adalah buku pesanan khusus dari pembeli yang bisa dipenuhi dua hingga tujuh hari kemudian.
Menurunnya jumlah pembeli, akunya, bukan semata gara-gara gelombang gadget dan internet. Tapi juga dibukanya Kampung Ilmu di Jalan Semarang. Menurut pedagang yang enggan menyebut nama ini, koleksi buku di Kampung Ilmu jauh lebih banyak. Sementara di tempat ini relatif terbatas.
Mengapa tidak boyongan ke Kampung Ilmu? “Saya nerusin punya bapak. Merasa berdosa kalau pindah ke sana. Dulu bapak jatuh bangun membesarkan tempat ini,” katanya.
naskah dan foto : hendro d. laksono