Dinding yang sudah mulai kusam dan lantai sesekali berderit. Inilah kesan yang tertangkap saat kita masuk di sebuah bangunan tua di Surabaya, Gedung Setan. Beralamat di Jl Banyu Urip IA/107 RT 1 RW 6, Surabaya, gedung ini dihuni oleh 52 keluarga.
Bagi sebagian orang, nama bangunan ini jelas mengundang tanya. Mengapa diberi nama Gedung Setan? Dilihat dari sejarahnya, dulu, gedung ini dibangun oleh Von Rudolf dari Belanda pada tahun 1800. Gedung ini digunakan sebagai markas VOC untuk wilayah Jawa Timur. Bukan kebetulan, saat itu VOC memiliki banyak markas yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan di Jawa Timur, mereka sempat memilih lokasi di kawasan Banyu Urip.
Usai proklamasi kemerdekaan RI, disusul hengkangnya bangsa Belanda dari bumi Nusantara, terjadi pemindahan aset dari mereka ke bangsa Indonesia. Saat itulah, dr Teng Sioe Hie membeli Gedung Setan secara resmi pada tahun 1967.
Pada tahun 1948 kemerdekaan Indonesia diuji lewat agresi militer. Pertempuran melawan kemerdekaan merebak di banyak tempat. Akibatnya, banyak pengungsi datang ke Surabaya, dan rata-rata, mereka adalah masyarakat dengan etnis Cina. Salah satu pengungsi tersebut adalah Handoko Tjianto yang merupakan ayahanda dari Ketua Gedung Setan saat ini, Sutikno Tjianto.
Pria yang akrab dipanggil Pak Tik ini mengaku, ketika ayahnya mengajak untuk pindah ke Surabaya, semua suku etnis Cina berbaur menjadi satu dalam bangunan tersebut. Ada yang berasal dari Bali, Ambon, Lampung, Medan, bahkan Jawa.
Pilihan Gedung Setan menjadi tempat mengungsi tentu bukan tanpa alasan. Bangunan ini, didirikan dengan teknik yang memang menakjubkan. Dindingnya yang kokoh dan kuat memiliki ketebalan 15-20 centimeter.
Kini, Gedung Setan berdiri megah sebagai salah satu ikon Kota Surabaya. Meski terkesan tidak terurus, pada kenyataannya, geliat masyarakat dalam gedung dan warga sekitar terjadi cukup dinamis. Lihat saja, tiap pagi, pasar tradisional digelar tepat di depan gedung. Warga yang tinggal di sekitar Banyu Urip tak rikuh untuk belanja di sana. Tanpa melihat etnis dan agama, mereka berbaur tanpa meninggalkan jejak masalah.
Pasar ini bahkan populer dengan sebutan Pasar Setan. Namun kesan negatif justru tak nampak di sana. Lihat saja, saat pasar akan tutup, semua sampah dibersihkan dan meja-meja ditata dengan rapi. Pasar Setan langsung berubah fungsi menjadi jalan umum.
Saat sore, penghuni Gedung Setan banyak yang duduk di luar rumah untuk sekadar mencari udara segar dan bercengkrama dengan tetangga. Mereka yang beretnis Cina, duduk berbaur bersama masyarakat Jawa dan Madura. Sesekali tawa membuncah menghiasi sore mereka. (tesalonika tosca, yovica frestycilia)