Melihat kursi dan meja di ruang tamu, lalu membayangkan Soekarno, Muso, Semaoen, duduk sambil berdiskusi di sana. Sesekali terdengar suara membentak, sesekali tertawa terbahak. Tentu, ini hanya kisah yang terdengar dari mulut ke mulut. Tentang rumah HOS Tjokroaminoto, rumah bersejarah bagi bangsa Indonesia, yang terletak di Jl Peneleh VII, Surabaya.
“Rumah ini masih bangunan asli. Meski ada perombakan di bagian dalam dan belakangnya,” ujar Fauzi, penjaga rumah Cokroaminoto.
Cokroaminoto, seperti banyak ditulis buku-buku sejarah, dikenal sebagai guru pendiri bangsa Indonesia. Karena di rumah inilah sejumlah tokoh penting nusantara sempat menetap dan berguru pada Cokroaminoto. Salah satunya, Soekarno.
Selama menimba ilmu di HBS Surabaya, presiden pertama Indonesia ini sempat tinggal di rumah Peneleh. Sejak tahun 1916 itu, ia menempati lantai dua rumah bersama anak kost lainnya. HBS yang berjarak hanya satu kilometer, ditempuh dengan jalan kaki. Sesekali, Soekarno membonceng sepeda kawannya.
Cokroaminoto sendiri tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Ia aktif sebagai pemimpin Sarikat Islam (SI), partai politik yang memiliki massa sekitar 2,5 juta. Di rumah itu, tinggal pula Mbok Tambeng, pembantu rumah tangga.
Soekarno kecil sangat akrab dengan Mbok Tambeng. “Dia menjadi pengganti ibuku. Dia menambal celanaku. Dia tahu bahwa gado-gado adalah kegemaranku,” ungkap Soekarno suatu ketika.
Soekarno yang saat itu masih berusia belasan tahun, tinggal bersama Semaoen, Alimin, Muso, dan beberapa anak kos lainnya. Di tempat ini, lewat diskusi dan buku-buku Cokroaminoto, ia kenal dengan pemikiran Thomas Jefferson, George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincoln. Di sisi lain, ia jadi akrab dengan pemikiran Gladstone, Beatrice Webb, Lenin, dan Karl Marx.
Rumah tokoh Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) ini, meski jauh dari standar kemewahan, dulunya cukup luas. Ada yang menyebut, lebarnya setara dengan sebuah rumah di realestate Surabaya Barat. Memiliki banyak ruang, bahkan kandang kuda di bagian belakang.
Di buku ‘Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’ karya Cindy Adams, Soekarno membuat deskripsi tentang rumah Cokroaminoto. “Gang kami namanya Gang 7 Peneleh. Pada seperempat jalan jauhnya masuk ke gang itu berdirilah sebuah rumah buruk dengan pavilyun yang setengah melekat. Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar kecil-kecil, termasuk ruang loteng. Keluarga Pak Cokro tinggal di depan, kami yang bayar-makan di belakang”.
Sebagai anak kos ia membayar Rp 11 per bulan. Selain sebagai kompensasi sewa kamar, juga mengganti uang makan.
Di rumah itu pula Soekarno sempat menjalin asmara dengan dengan anak Cokroaminoto, Siti Oetari, yang kemudian dinikahi. Pernikahan itu, seperti ditulis Cindy Adams berdasar pengakuan Soekarno, bermula saat istri Cokroaminoto meninggal. Kesedihan meliputi rumah Peneleh. Untuk mengobati kesedihan lelaki yang memberi jasa luar biasa bagi hidupnya, Soekarno melamar Oetari yang saat itu berusia 16 tahun.
Mereka menikah dengan cara kawin gantung. Kata Soekarno di buku Cindy Adams, ini adalah perkawinan biasa yang dibenarkan dalam hukum dan agama. Salah satu alasan yang digunakan, karena mempelai dinilai belum cukup umur.
Sayang, seiring waktu, rumah berpintu hijau kuning itu dirombak dengan menghilangkan sebagian wilayah. Jika kita datang ke rumah ini sekarang, akan melihat barang-barang yang sebagian adalah pengadaan dari pemerintah. Termasuk dengan kursi, meja, lemari bahkan foto-foto yang ada di dalam rumah. Jikapun ada barang yang masih asli dan tidak dirombak sama sekali, adalah dinding bergambar Partai Sarikat Islam Indonesia. (dini andarista, mirta alifia)