Masjid Cheng Hoo adalah representasi muslim Tionghoa di Surabaya. Keberadaanya tak semata jadi tempat beribadah, namun juga jadi lambang kolaborasi budaya.
Tak percaya, mampirlah di masjid yang berdiri di Jalan Gading Surabaya ini. Desain arsitektur bangunannya khas Tiongkok, lengkap dengan warna merah dan kuning emas yang dominan. Sementara di dalamnya, aktifitas keagamaan berjalan layaknya rumah ibadah umat Islam kebanyakan.
Mereka, menghadap kiblat tanpa memperhatikan dari suku atau ras mana dia berasal. “Tiap jam istirahat saya dan beberapa kawan ke sini. Untuk sholat dan beristirahat,” kata Usman Ali, karyawan sebuah perusahaan swasta. Kantornya tak jauh dari masjid ini.
“Tempatnya bagus. Tenang. Representatif buat beribadah. Dulu saya sempat berfikir kalau ini hanya untuk muslim Tionghoa. Ternyata tidak. Siapapun boleh beribadah di sini,” jelasnya sambil tersenyum.
Ramadhan lalu, Masjid Cheng Hoo juga jadi jujugan banyak orang. Baik saat waktu sholat, juga ketika berbuka. Sumber indonesiaimages.net di tempat ini mengatakan, sepanjang Ramadhan, diadakan kegiatan bagi-bagi takjil di halaman masjid.
Tak tanggung-tanggung, jumlah mereka yang datang bisa mencapai 500 orang. Bahkan di 10 hari terakhir, jumlah pengunjung mencapi 700 orang.
Sebagai tempat beribadah umat Islam, Masjid Cheng Hoo juga digunakan sebagai tempat pengajian hingga prosesi akad nikah. Dan sekali lagi, siapapun boleh datang.
Masjid ini berdiri dengan ditandai peletakan batu pertama pada Oktober 2001. Saat itu hadir sejumlah tokoh Tionghoa baik muslim maupun non-muslim. Seperti Willy Pangestu, Bingky Irawan, Liem Ou Yen, Bintoro Tanjung dan Henry J. Gunawan.
Dari diskusi yang dilakukan sebelumnya, diputuskan mengambil bentuk yang menonjolkan kekhasan budaya Tionghoa. Bentuk yang menjadi acuan adalah Masjid Niu Jie di Beijing yang dibangun pada tahun 996 masehi. Ukuran masjid yang disepakati sempat berubah, dari yang awalnya 46 meter persegi, kemudian 68 meter persegi hingga akhirnya dipilih 231 meter persegi.
Enam bulan setelah peletakan batu pertama, Masjid Cheng Hoo pun berdiri. Proses yang berjalan cepat ini tentu saja tak lepas dari dukungan tokoh penting Jawa Timur dan sokongan dana yang terus mengalir.
Saat itu, biaya yang dibutuhkan untuk membangun Masjid Cheng Hoo mencapai Rp 750 juta. Biaya sebesar ini diperoleh dari dana yang bersumber dari masyarakat umum, bahkan kalangan Tionghoa non-muslim.
Bulan Oktober 2002, saat masjid belum selesai 100 persen, Masjid Cheng Hoo resmi soft opening. Saat itu, nama Masjid Muhammad Cheng Hoo pun diperkenalkan pada khalayak. Memiliki luas 231 meter persegi, masjdi ini mampu menampung sekitar 200 jamaah. Bangunan utamanya berukuran 99 meter persegi atau 11 X 9 meter. Sementara pada bagian atas terdapat delapan sisi.
Angka-angka 8, 9 dan 11 itu memiliki makna mendalam. Angka 11 adalah ukuran Ka’bah ketika pertama kali dibangun, angka 9 menandakan jumlah Wali Songo yang berjasa melakukan penyebaran Islam di tanah Jawa. Sedangkan angka 8 merupakan lambang Pat Kwa yang dalam budaya Tionghoa berarti keberuntungan atau kejayaan.
Papan nama masjid bertuliskan huruf Mandarin yang langsung ditulis oleh Duta Besar Republik Rakyat Cina untuk Indonesia Lu Shu Ming. Tulisan tersebut bermakna Cheng Hoo Jing Chen She yang dalam Bahasa Indonesia berarti Masjid Cheng Hoo.
Di sisi kiri dan kanan bangunan terdapat bangunan pendukung yang berukuran 5,5 X 7 meter. Kedua bangunan pendukung ini terletak lebih rendah dari bangunan utama. Pada ornamen masjid, terdapat kolaborasi joglo yang bermaksud memperkokoh persatuan dan kesatuan umat.
Di sisi kanan masjid terpasang sebuah replika kapal Laksamana Cheng Hoo yang konon pernah memiliki armada yang jumlahnya melebihi Columbus. Replika ini dikerjakan oleh seorang warga Surabaya asal Sulawesi, Abadaeng. Sementara arsitektur masjid secara keseluruhan dikerjakan oleh seorang insinyur warga Bojonegoro, Azis Johan.
naskah dan foto : hendro d. laksono