Pada dekade 1980-an, pemahat patung di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, awalnya membuat patung untuk kesenangan dan mengisi waktu. Batu andesit yang solid menjadi pilihan terbaik untuk dibentuk menjadi berbagai bentuk patung.
Setelah terdengar dan terlihat oleh banyak penggemar patung, kerajinan patung ini mulai memiliki nilai komersial, hingga akhirnya menjadi industri kecil yang berkembang pesat di Dusun Jati Sumber, Desa Wates Umpak, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Pesanan patung di desa Wates Umpak datang dari berbagai kalangan, baik kolektor personal, tempat ibadah maupun industri wisata di kawasan lokal seperti Bali hingga Asia Tenggara dan Eropa. Era 1990-an menjadi masa keemasan bagi perajin patung Trowulan.
Warga desa banyak yang belajar memahat hingga akhirnya trampil dan ikut memproduksi atau bekerja sebagai pemahat patung. Kini tak kurang terdapat tujuh kelompok perajin di selatan Desa Wates Umpak. Di utara Desa Wates Umpak, terdapat empat kelompok perajin dan sisanya adalah warga desa yang secara mandiri berproduksi.
Suliswanto, 25, pemuda Desa Wates Umpak adalah satu di antara ratusan perajin. “Tiap hari saya memahat patung kecuali hari Minggu,” katanya.
Suliswanto bisa mendapatkan upah sekitar Rp 2 juta per bulan untuk pekerjaan ini. Lulusan SMU ini sudah belajar memahat sejak SMP. “Saat itu saya cuma melihat saja, karena hampir tiap hari melihat, saya akhirnya belajar memahat bentuk kepala Budha,” kisahnya.
Sebagian besar perajin mengawali pahatannya dengan membuat bentuk kepala Budha. Saat sudah mahir, perajin cukup mengandalkan feeling untuk memahat batu andesit utuh berbagai ukuran untuk dijadikan patung sederhana atau yang memiliki banyak detail.
Patung berbagai bentuk seperti patung Budha, Ganesha, Dewi Sri dan Dewi Shinta adalah bentuk patung yang sering diproduksi. Lama pengerjaan tergantung ukuran dan tingkat kesulitan atau detail patung. Untuk patung berukuran 2-3 meter dibutuhkan waktu sekitar 2 hingga 3 bulan.
Seiring waktu, pembeli patung pahatan batu andesit makin berkurang. Pada era 1990-an hingga 2000-an perajin cukup banyak mendapatkan pesanan. Namun, berbagai peristiwa seperti krisis Eropa dan bom Bali pada 2002 diindikasikan oleh perajin sebagai faktor surutnya pesanan patung.
“Dahulu orang asing yang berwisata langsung datang melihat, lantas memesan atau membeli. Sekarang jarang sekali ada pembeli bule,” tutur Suwaji, 50, perajin.
Kini,selain patung dari batu andesit utuh, pembeli banyak berminat dengan patung hasil cetakan semen. Selain pengerjaan lebih cepat, pembeli bisa mendapatkan harga jauh lebih murah. Di tengah persaingan dengan patung cetakan, pemahat patung batu andesit masih bertahan hingga kini.
naskah dan foto : mamuk ismuntoro