Dulu, orang tua suka melarang kita membaca komik. Mereka lupa, komik adalah karya seni yang sudah ada sejak dulu di bumi nusantara. “Esensinya adalah bahasa visual. Dan ini tidak berbeda dengan wayang beber dan relief yang melekat di dinding candi,” jelas Sulistyanto Soejoso, pemerhati dunia pendidikan, saat berbicara dalam Diskusi ‘Kemandirian Seni dan Budaya di Warung Mbah Cokro, Surabaya, Jumat (24/2) malam.
Untuk itu, lanjut Sulistyanto, pegiat komik tak perlu ragu untuk terus berkarya dengan membawa jati diri Indonesia. “Karena komik juga produk Indonesia,” tegasnya.
Hal senada juga pernah disampaikan Jaya Suprana, kelirumolog dan pegiat humor Indonesia. Ia mengatakan, komik tertua sesungguhnya ada di Indonesia. “Yakni yang terdapat dalam relief Candi Borobudur. Walau tanpa kata-kata, relief tersebut menggambarkan kisah yang luar biasa,” katanya.
Lepas dari benar atau tidaknya pandangan ini, faktanya, komik ternyata cukup mengakar di negeri ini. Di ruang distribusi mainstream atau bawah tanah, komik tumbuh subur dengan bentuk dan ideologi yang beragam.
Meski demikian, banyak komikus mengaku, problem terbesar tetap di gempuran produk impor. Mulai dari komik Amerika, Eropa, hingga Jepang. Keberadaan komik-komik ini, dianggap merampas ruang display komik produk lokal.
“Saya dan beberapa kawan pegiat komik sampai kuwalahan meyakinkan toko buku. Agar mau menjual komik kami,” aku X-GO W, perupa jalanan dan komikus Surabaya. Tak kekurangan akal, ia sampai nekad menyelipkan komik indi buatannya ke rak display toko-toko buku di Surabaya.
“Secara periodik saya jalan-jalan ke toko buku. Lalu menyelipkan komik saya, berjajar dengan komik yang dijual,” kenangnya. Lalu keesokan harinya, ia memeriksa, apakah komik itu masih dipajang atau tidak. “Ternyata nggak ada. Ya sudah. Artinya komik itu sudah dibaca orang lain,” kata X-GO sambil tertawa.
Sebagai produk pop-art, komik Indonesia diperkenalkan pada publik pada dekade 1930-an. Tepatnya saat komik strip Put On muncul di Harian Sin Po tahun 1931. Disusul komik-komik lain yang populer pada tahun 1950-an, seperti komik Manik Kangkeran yang terbit pada April 1953, atau buku-buku komik karya RA Kosasih pada tahun 1954.
RA Kosasih dinilai sebagai tokoh paling berpengaruh di industri komik Indonesia. Dari Bandung, karya-karyanya menyebar ke Jakarta, hingga Surabaya dan Medan. Kisah epik dunia pewayangan jadi tema yang tersaji dengan cara menawan.
Sayang, saat gejolak politik 1965, komik juga ikut jadi korban. Program pemberangusan simbol-simbol Partai Komunis Indonesia (PKI) juga menimpa komik lokal.
Menjelang tahun 1970, muncul komik-komik yang kemudian mempopulerkan tokoh-tokoh fiksi seperti Si Buta dari Gua Hantu (Ganes TH), Gundala Putra Petir (Hasmi), Godam (Wid NS), dan masih banyak lagi.
naskah : firman putra
dari berbagai sumber