Masa pemerintahan Belanda di Indonesia memang sangat lama. Hal ini meninggalkan bekas yang mendalam di masyarakat. Bahkan mendarah daging di beberapa aspek yang ada di Indonesia. Mulai dari pakaian, kebudayaan, hingga arsitektur bangunan. Kesan ini makin makin terasa jika kita jalan-jalan di Peneleh, Surabaya.
Tak heran jika belakangan, kawasan legendaris ini berkembang menjadi jujugan baru bagi wisatawan, baik domestik maupun asing. Wisata Peneleh memiliki rute yang menarik untuk diikuti. Dimulai dari Masjid Jamik Peneleh yang merupakan masjid tertua di Surabaya, Rumah HOS Cokroaminoto yang melahirkan banyak tokoh-tokoh besar, hingga ke Makam Belanda Peneleh.
Makam ini telah digunakan sejak ratusan tahun lalu, saat Belanda masih memiliki kuasa atas Indonesia. Makam yang memiliki nama asli De Begraafplaats Peneleh Soerabaja ini dibangun sebagai tempat peristirahatan terakhir warga Eropa di Surabaya.
Banyak hal yang bisa kita temui di kompleks makam ini. Diantaranya, kode yang melekat di setiap petak makam. Kode yang ada masing-masing berbeda dan memiliki ciri khasnya sendiri. Ada yang dilapisi dengan batu marmer, ada yang diukir dengan batu berwarna putih, ada juga yang diukir dari baja dengan simbol-simbol tertentu. Hiasan seperti tanda salib dan malaikat kecil kerap ditemui menghiasi nisan.
Perbedaan bentuk batu nisan ini menggambarkan kelas sosial yang berbeda pula. Karena yang dikebumikan di sini tak hanya warga biasa, namun juga Gubernur Jenderal Hindia, komandan perang, pendeta, hingga wakil mahkamah agung.
Salah satunya terdapat makam pendeta yang memiliki nisan begitu megah dan ukiran sejarah hidupnya. Sayangnya, lubang besar kerap terlihat di bagian bawah makam, hal ini disebabkan karena mayat yang sudah di bawa ke Belanda, ataupun karena pencurian yang terjadi untuk mengambil benda-benda berharga di dalam makam.
Ada juga marmer yang kotor dan berlumut, serta besi-besi yang mulai berkarat. “Sejak tidak aktif digunakan, makam ini menjadi tidak terawat. Padahal dana dari pemerintah sudah tersedia, namun realisasinya nol besar,” ucap Kuncarsono, pemerhati sejarah Surabaya. Makam-makam itu, lanjutnya, seharusnya diposisikan sebagai saksi sejarah perjalanan Surabaya bahkan Indonesia.
Tak ada kesan mencekam ataupun suasana yang membuat bulu kuduk berdiri di makam ini. “Satu-satunya hal yang membuat mencekam adalah pada saat makam ini masih dibuka untuk umum dan minim penerangan. Lokasi makam sering dijadikan sarang narkoba dan prostitusi,” kata Kuncarsono lagi.
Kelebihan lain dari makam yang dibangun pada 1814 oleh pemerintah Belanda ini adalah sistem administrasi yang serba rapi. Karena selain sistem peletakan makam, ada juga catatan tentang jenazah, silsilah keluarga, dan fasilitas krematorium. (arie julia c, joanna cristin)