Mandi atau membasuh tubuh adalah kebutuhan semua orang. Baik warga biasa, bangsawan, hingga para raja. Selain alasan menjaga penampilan dan kesehatan, banyak yang meyakini, mandi adalah jalan menuju suci. Karenanya, mandi jadi proses khusus yang kadang butuh waktu dan tempat tersendiri.
Lihat saja di Petirtaan Jolotundo. Sejak dulu hingga kini, bangunan bersejarah yang berdiri di lereng Gunung Penanggungan, tepatnya di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur ini masih ramai dikunjungi. Mitos yang berkembang membuat petirtaan ini didatangi orang dari seluruh penjuru Nusantara. Selain itu, ada juga yang datang karena alasan historis hingga pengobatan.
Petirtaan yang juga dikenal dengan nama Candi Jolotundo terletak di kurang lebih 55 kilometer dari Surabaya. Dengan kendaraan pribadi bisa dijangkau dalam waktu sekitar dua jam saja. Sebelum ke lokasi, pengunjung ada juga yang berbelok ke PPLH Seloliman.
Di Jolotundo, udara terasa sangat sejuk. Karena posisinya yang ada di 350 mdpl, sehingga tidak terasa panas. Dari PPLH ke candi, kita bisa memanjakan diri dengan menikmati kesejukan udara dan indahnya perkebunan masyarakat lokal. Beberapa rumah makan juga gampang ditemui di sana.
Dari PPLH menuju candi, jalan terus menanjak. Dan tak lama kemudian, kita sampai di area parkir Petirtaan Jolotundo yang selalu ramai dipadati kendaraan wisatawan. Biaya parkir Rp 5.000 untuk motor dan Rp 10 ribu untuk mobil.
Puncak kunjungan wisatawan ada pada hari Minggu dan liburan sekolah. Hal yang sama juga terjadi saat digelar acara khusus. Untuk masuk area petirtaan, kita cukup merogoh dompet dengan membeli tiket Rp 10 ribu untuk pengunjung dewasa, dan Rp 7.500 untuk anak-anak usia 5-10 tahun.
Masuk ke area candi, kita bisa melihat keindahan alam khas lereng Penanggungan. Keberadaan beberapa bangunan joglo yang disediakan oleh pengelola menambah eksotis kawasan wisata Jolotundo.
Yang penting lagi, beberapa bangunan asli nampak terawat dengan baik. Sayang, beberapa coretan pengunjung tidak bertanggung jawab sudah ada di sana.
Menuju petirtaan, kita diajak mendengar suara dedaunan dan gemericik air dari mata air yang mengalir. Selebiyhnya suara riuh pengunjung yang antri untuk mandi di kolam. Baik pria, wanita, tua, maupun anak-anak dan remaja. Tak jarang, ada beberapa pengunjung yang datang membawa jirigen untuk mengambil air kolam. Semakin sore, pengunjung Candi Jolotundo semakin ramai.
Bangunan Suci
Candi Jolotundo berdiri sebelum masa Majapahit. Seperti diketahui, Majapahit berdiri sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Sementara Jolotundo berdiri pada masa Kerajaan Kahuripan yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009.
Petirtaan Jolotundo dibangun oleh Raja Udayana pada 991 M. Di sebuah catatan disebutkan, Raja Bali ini membangun Candi Jolotundo di sebelah barat Gunung Pananggungan untuk memperingati hari kelahiran Raja Airlangga, anaknya. Tahun 1009 M, Raja Airlangga membangun candi berdekatan dengan Petirtaan Jolotundo yang kemudian dikenal dengan nama Candi Belahan atau Candi Sumber Tetek.
Oleh para penduduk lokal dan pihak BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Jawa Timur, kawasan ini kemudian dikelola, dirawat, dan dikembangkan menjadi tempat wisata di Mojokerto.
Sebagai salah satu tempat yang disucikan sejak awal berdiri, Candi Jolotundo juga dijaga dengan prosesi ritual adat dan keagamaan. Setidaknya satu tahun sekali, penduduk sekitar candi menggelar ritual Ruwat Sumber. Gelaran ritual yang diadakan pada 10 Suro ini digunakan untuk berdoa bersama. Juga sebagai rasa syukur penduduk sekitar karena sudah diberi berkah dari Sang Pencipta berupa sumber mata air yang tidak ada habisnya.
“Acara ini dipimpin oleh sesepuh desa dan warga umum bisa ikut untuk melakukan ritual yang diadakan di 30 titik di lereng gunung Penanggunan. Acara ini diawali dengan acara arak-arakan Bantengan dari bawah dan acara inti dilakukan di area Candi Jolotundo,” ungkap Muhaimin, salah satu pengurus kawasan candi. (hilarius arya, james oktavianus)