Sebuah toko kecil di desa Kebungson, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik, Jawa Timur menjadi cikal bakal kejayaan industri kulit di pesisir Pantai Utara Jawa di era 1896-1916. Adalah H. Oemar Akhmad, sang saudagar di Gresik yang memulai usahanya dengan berdagang jual beli kulit, pendukung industri sepatu, sandal, terompah, tas dan sabuk pada 1890.
Insting bisnis H. Oemar sejalan dengan karakternya yang ulet, hemat dan taat menjalankan keyakinan agamanya. Rumah megahnya tak hanya untuk ditinggali, namun bagian atasnya juga dibuat sebagai sarang burung walet.
Untuk menyiapkan keberlanjutan bisnisnya, H. Oemar telah mendidik kelima puteranya ( Asnar, H Djaelan, H. Achmad Djaenoeddin, H.Mokesin, H. Abdul Gaffar ) jauh-jauh hari. Mevrouw Koetoub, perempuan keturunan Cina-Belanda diutusnya untuk mengajari anak-anaknya bahasa Belanda dan pembukuan, yang kelak diperlukan untuk urusan bisnis.
Usia membatasi kinerja H. Oemar hingga tahun 1896, dirinya menyerahkan seluruh bisnisnya kepada lima puteranya. Tak perlu waktu lama, kelima puteranya dalam dua tahun mampu membuat bisnis keluarga ini berkembang pesat hingga cukup dikenal di Surabaya, Sidoarjo, Lamongan dan Bojonegoro.
Kelancaran majanemen produksi dan sistem pemasaran bisnis keluarga H. Oemar tak luput dari peran sistem informasi yang dikelola oleh Goverments Post en Telegraafdients ( badan usaha milik pemerintah Kolonial Belanda ). Informasi harga kulit terkini, stok barang dan surat-surat pesanan lebih cepat terakses oleh keluarga H.Oemar. Sebelum akhir 1897, transaksi jual beli kulit belum menggunakan surat menyurat dan hanya berhubungan dengan pengusaha di sekitar kota Gresik.
Revolusi jaringan kawat pada 1856 di Jawa telah memecah kesunyian model jaringan informasi. Kala itu seorang pengusaha kulit Batavia yang memesan kulit dari Gresik harus rela menunggu tujuh bulan untuk mendapatkan kepastian.
Perjalanan gemilang bisnis penyamakan kulit keluarga H. Oemar selama kurun 20 tahun ( 1896-1916 ) telah terhubung ke 24 kabupaten/ kota di Jawa diantaranya Surabaya, Sumenep, Jember, Probolinggo, Solo, Semarang hingga Batavia. Tak hanya kulit sapi dan kulit kambing, perdagangan juga meliputi kulit rusa, kerbau, buaya, domba dan kuda.
Bisnis jual beli kulit yang cukup pesat membuat stok kulit mentah banyak menumpuk, hingga kelima bersaudara ini membuka pabrik penyamakan kulit. Keuntungan bisnis yang berlanjut tak saja dari jual beli dan penyamakan kulit, namun juga dari unit bisnis sarang burung walet. Era keemasan keturunan H. Oemar pun bergulir hingga berdirilah salah satu simbol kejayaan keluarga ‘Kemasan’ dengan rumah-rumah beraksitektur khas Oriental-Eropa.
“Bahan-bahan bangunan, seperti semen dipesan dari Surabaya, sementara para tukang oleh ahli bangunan dari Cina”, kisah Oemar Zainuddin, keturunan ke tiga keluarga besar H. Oemar.
Sebutan ‘kampung Kemasan’ sejatinya telah ada sebelum keluarga besar H. Oemar mendirikan rumah-
rumah megah di desa Kebungson, Gresik. Oemar Zainuddin, 70, keturunan ketiga H. Oemar menuturkan bahwa dahulu ada perajin emas Cina bernama Bak Liong yang cukup terampil di desa Kebungson. Kepiawaian perajin emas inilah yang menjadikan kampung tempat tinggalnya disebut sebagai kampung Kemasan.
Kejayaan telah memilih waktunya, begitu juga dengan jaman keemasan bisnis keluarga H. Oemar. Gelombang kulit sintetis dan plastik yang masuk di era 1940an, perlahan menggerus kilatan emas kejayaan keluarga ini. Puncaknya, di tahun 1950an, persaingan bisnis juga turut menyumbang tergulungnya bisnis keluarga Kemasan. Maka di era itu, sinar emas kerajaan bisnis H. Oemar makin meredup. Kini beberapa keturunan H. Oemar masih menempati rumah-rumah mewah di jamannya itu
Bangunan tinggi khas Eropa dengan aksen merah Oriental mewah di kampung Kemasan adalah saksi kejayaan dan ketangguhan pedagang besar Gresik di jamannya.
naskah dan foto : mamuk ismuntoro
FOTO SELENGKAPNYA KLIK GALLERY