Isu pendidikan masih sarat dengan masalah. Diantaranya bersumber dari regulasi pemerintah, persepsi orang tua, dan pelaku pendidikan itu sendiri. “Ujian nasional misalnya. Itu standarisasi yang dibuat berdasar persepsi pemerintah. Anak diajak berkompetisi. Padahal esensi belajar bukan di situ. Anak harusnya diajak untuk mengerti, memahami, tumbuh mandiri,” kata Bukik Setyawan, pemerhati dunia pendidikan, di depan peserta Cangkruk Bareng di Warung Cokro, Minggu (8/5) malam.
Bukik lalu menyodorkan pemikiran Sugata Mitra, pakar teknologi pendidikan, yang menyoal rancangan pendidikan yang kini tidak relevan. “Sugata Mitra mengingatkan ada tiga unsur pembelajaran. Pertama rasa ingin tahu. Kedua akses terhadap informasi tanpa intervensi orang dewasa. Ketiga encourage,” jelas Bukik.
Penggagas portal anak temantakita.com sekaligus penulis buku serial pengembangan bakat anak ini menilai, kualitas pendidikan anak yang ada saat ini bisa dilihat dari soal yang diberikan saat ujian. “Jujur saja. Itu pertanyaan-pertanyaan yang terlalu gampang buat anak. Gampang dalam pengertian, itu mudah dicari di Google. Sementara berkaca pada gagasan Sugata Mitra, harusnya pertanyaan ujian tidak demikian,” jelas penulis buku ‘Anak Bukan Kertas Kosong’ ini.
Dicontohkan, pertanyaan bisa berbetuk, “Jika ada bintang mau jatuh ke bumi. Bagaimana kita tahu, bintang ini akan jatuh menimpa kita atau tidak?” Pertanyaan ini, kata Bukik, membawa ide agar anak berpikir lebih dalam. Bukan semata pemahaman konsep, apalagi hapalan. “Tapi juga imajinasi,” tegas Bukik.
Forum Padepokan Tjokroaminoto yang digelar santai tapi serius ini diikuti sejumlah praktisi pendidikan, baik formal maupun informal, wartawan, mahasiswa, dan budayawan. Forum yang digelar hingga pukul 22.00 WiB ini dimoderatori Pry Supriadi.
FOTO : ISTIMEWA | VIDEO : BUDIONO