Secara kuantitif, jumlah media cetak yang beredar di masyarakat akan terus menyusut. Ini kondisi yang terelakkan. Selain faktor suplai kertas yang makin terbatas, biaya produksi media ini juga terbilang tinggi.
“Sejak tahun 1990-an, dalam sebuah diskusi di Surabaya Post, saya sudah pernah mengingatkan hal ini. Bahwa media cetak akan mendapat pesaing baru, media online,” kata Peter A. Rohi, wartawan senior dan sejarawan independen, di depan peserta forum bulanan Klub Jurnalistik bertajuk Rasan-rasan Serius Media Cetak tak Pernah Padam, Jumat (29/1), di Warung Cokro, Jl Raya Prapen, Surabaya.
Bahkan keberadaan media yang menjanjikan kecepatan arus informasi ini, kata Peter, tak berhenti jadi pesaing. Ia juga ancaman. Dan terbukti, seiring pertumbuhan teknologi internet dan produksi gadget, orang kemudian menjadikan news portal dan majalah online sebagai sumber informasi utama. “Bahkan media sosial,” kata Peter.
Fenomena ini disusul runtuhnya sejumlah media cetak, diantaranya media-media yang gulung tikar di tahun 2015. Mulai dari Harian Bola, Jakarta Globe, Koran Tempo Minggu, hingga Sinar Harapan.
Benarkah media cetak Indonesia di ujung tanduk? “Sebenarnya tidak. Ini fenomena wajar, bahkan terjadi sejak dulu. Media cetak jatuh dan bangkit kembali. Koran Sinar Harapan kalau tidak salah sudah lima kali tutup dan terbit kembali,” papar pria kelhiran Timor, 14 Nopember 1942 ini.
Problem media cetak yang ada saat ini, lanjutnya, banyak yang terjebak pada pemberitaan seremonial atau narasumber tunggal. “Saya pernah membandingkan beberapa koran terbitan Jakarta. Headline-nya sama. Ini kan aneh. Betapa tidak kreatifnya redaktur koran-koran ini,” papar Peter di depan forum dengan moderator Hendro D. Laksono, Pimpinan Umum indonesiaimages.net ini.
Lalu pria yang kini aktif membuat film dokumentasi sejarah ini mencoba membuat perbandingan. Jaman ia masih aktif jadi wartawan, saat ada tawaran liputan ke Jepang, ia balik bertanya, “Berapa biayanya? Lebih baik dipakai liputan ke pulau-pulau terpencil di Indonesia”.
Berbekal semangat ini, Peter mencontohkan, beberapa kali ia ‘menyelamatkan’ aset negara. “Ada pulau yang mau diklaim luar negeri gara-gara hasil alamnya bisa memberi kontribusi ratusan triliun rupiah tiap tahun. Gara-gara tulisan saya, ini pulau kembali ke Indonesia,” kenangnya.
Memang, lanjutnya, ini bukan persoalan mudah. Karena semangat membuat karya jurnalistik yang memiliki impact semacam ini butuh kerja keras, tidak setengah-setengah. Tapi jika karya kita bagus, ia akan melengkapi dokumentasi sejarah Indonesia. “Karena media cetak adalah dokumentasi peradaban,” pungkasnya.