Matahari bergerak di atas kepala. Sugeng, 40 tahun, petugas di Candi Brahu, berdiri di dekat kaki candi. Membawa setumpuk buku dan lembar-lembar foto copy dalam kantung plastik. “Sudah 23 tahun saya bertugas di sini,” aku Sugeng.
Tiap pagi, ia berangkat dari rumahnya di Gondang, Mojokerto, menuju Candi Bajang Ratu yang terletak di Desa Temon, Trowulan. Aturannya jelas, “Jam setengah delapan saya harus sudah siap di sini”.
“Pengunjung tempat wisata seperti ini jumlahnya terbatas. Hari Minggu yang paling ramai. Bisa ratusan orang. Kalau hari biasa ya puluhan saja. Kadang hanya belasan orang,” kata Sugeng. Sesudahnya, semua berjalan layaknya rutinitas yang sunyi. Hening, seperti Candi Bajang Ratu yang berdiri dengan segenap keanggunan.
Sejarah Candi Bajang Ratu, jelas Sugeng, masih lekat dengan spekulasi-spekulasi. Tapi para ahli meyakini, Candi Bajang Ratu memiliki hubungan kesejarahan dengan sosok Jayanagara. Karena Jayanagara dilantik menjadi raja saat masih berusia anak-anak atau bajang.
Spekulasi ini menguat saat sebutan Bajang Ratu juga muncul di Oudhi Kunding Verslag (OV) pada tahun 1915. Dan dari beberapa upaya penelitian serta penyelamatan bangunan, khususnya di jaman kolonial, sejarah Candi Bajang Ratu terungkap perlahan.
Candi ini diperkirakan berdiri pada abad ke-14. Dibanding candi-candi gapura Kerajaan Majapahit yang lain, Candi Bajang Ratu tergolong salah satu candi gapura berukuran besar. Luasnya 11,5 x 10,5 meter, dan tinggi mencapai 16,5 meter. Candi gapura ini masuk dalam golongan Paduraksa atau gapura yang memiliki atap.
Mengutip data Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi gapura ini memiliki fungsi sebagai pintu masuk ke bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara. Dalam Negarakertagama, proses ini disebut kembali ke Wisnu. Namun keberadaan relief Sri Tanjung dan sayap gapura yang memiliki makna pelepasan, memunculkan dugaan kalau candi ini juga dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan.
“Tentu saja, ini baru dugaan-dugaan. Karena sebagai bangunan suci, belajar dari bangunan serupa lainnya, Candi Bajang Ratu harusnya tidak sendiri. Tapi ada bangunan lain. Nyatanya belum kita temukan,” tukas Sugeng. Mempelajari relief di dinding candi, titik temu sejarah candi ini juga terasa makin jauh.
Peneliti masih butuh waktu untuk mencari benang merah antara relief Sri Tanjung, Ramayana, dan hiasan kala pada bagian pintu. Ditambah ornamen kepala kala yang sedang diapit singa, lalu relief matahari, garuda, mata satu, dan naga berkaki.
Menelusuri jejak Bajang Ratu memang bukan pekerjaan mudah. Tak berbeda dengan candi-candi lain yang tersebar di Trowulan, banyak pertanyaan yang hingga kini belum terungkap secara utuh. “