Masyarakat Aceh dikejutkan dengan kedatangan ratusan pengungsi Rohingya, Senin (26/12/2022) lalu. Peristiwa ini, seperti biasa, menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat.
Fadhila Inas Pratiwi S Hub Int MA, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga menilai, persekusi yang dilakukan junta militer Myanmar terhadap etnis Rohingya merupakan pelanggaran HAM.
Nasib tersebut mendorong mereka untuk menyelamatkan diri dan mengungsi di negara-negara tetangga. “Hak-hak asasi manusianya jelas telah terlanggar,” terangnya.
Diakui, sejak 2012, pemerintah Indonesia sudah banyak memberikan bantuan humaniter kepada pengungsi etnis Rohingya. Menurutnya, negara-negara di Asia Tenggara merasakan dampak yang ditimbulkan permasalahan ini.
“Dengan tidak adanya mekanisme untuk mengatasi polemik Rohingya ini, dampak masalah pengungsi sangat dirasakan oleh negara-negara di asia tenggara,” tutur alumnus University of Birmingham tersebut.
Sebenarnya, Hak Asasi Manusia dari pengungsi Rohingya merupakan tanggung jawab organisasi internasional berupa UNHCR dan IOM. Meskipun demikian, Fadhila berujar bahwa negara berperan besar dalam penyelesaian masalah ini.
“Negara merupakan aktor yang krusial dan bisa langsung turun tangan untuk mengatasi pengungsi yang ke negaranya, serta menggunakan anggaran yang ada untuk mengatasi permasalahan pengungsi, seperti memberikan shelter, makanan, pakaian, dan kehidupan yang layak untuk pengungsi,” jelasnya.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah melakukan usaha-usaha seperti menampung pengungsi dan berdiplomasi agar aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya tidak kembali terjadi.
Pada 2015 misalnya, sebanyak 1800 pengungsi etnis Rohingya diselamatkan oleh nelayan di sepanjang pantai Aceh. Kementerian Luar Negeri juga telah memimpin koordinasi Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) untuk memberikan bantuan kemanusiaan di Rakhine.
Akan tetapi, dirinya mengatakan bahwa terdapat limitasi terhadap usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan tersebut.
“Mengingat ada nilai non-intervensi di ASEAN, sehingga negara-negara anggota tidak bisa menyelesaikan (masalah, red) pelanggaran HAM terhadap rohingya di Myanmar,” kilahnya.
Selain rintangan tersebut, pemerintah Indonesia juga menghadapi halangan lain. Fadhila menerangkan bahwa dibutuhkan dana yang besar bagi pemerintah Indonesia jika ingin menampung pengungsi Rohingya.
“Harus ada dana APBN yang dianggarkan untuk masalah pengungsi karena memang mengurus pengungsi membutuhkan dana yang besar.”
Selain itu, terdapat pula ancaman bahwa kehadiran pengungsi justru akan meresahkan warga penduduk asli daerah setempat.
Di sisi lain, Indonesia juga akan mendapatkan keuntungan yang cukup besar apabila mampu menampung pengungsi Rohingya. Dengan hal tersebut, Indonesia akan mendapatkan rekognisi internasional sebagai negara yang ramah terhadap pengungsi.
Fadhila menyarankan, harus ada mekanisme regional yg bisa membuat Myanmar tidak melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat Rohingya.
“Karena ASEAN sampai saat ini belum mampu memberikan solusi yg terbaik terkait masalah Rohingya ini,” tegasnya. (ddk)