Sistem zonasi yang diberlakukan saat masa penerimaan siswa baru menyisakan banyak cerita. Di antaranya seperti yang dialami Nety Puspitasari, salah satu guru di Sekolah Model Terpadu Negeri Bojonegoro.
Diakui, sekolah yang berlokasi di Jalan Raya Sukowati, Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur ini bukan pilihan utama bagi beberapa orang tua siswa. Bukan karena kualitas sekolah, tapi lokasinya yang memang tak berada di tengah kota.
SMT Negeri adalah model sekolah yang diselenggarakan secara terpadu, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA. Di Jawa Timur hanya ada dua sekolah seperti ini. Pertama di Bojonegoro, kedua di Lumajang. Sekolah ini dibangun oleh pemerintah, didesain dengan sarana dan prasarana yang sangat lengkap.
“Klub sepak bola Bojonegoro saja kalau berlatih di lapangan sepak bola sekolah,” ujar guru yang mengajar di SMPN Model Terpadu ini. Sayang, dengan fasilitas berlimpah seperti ini,lanjut dia, SMT justru beberapa kali kekurangan murid.
Ma’am Nety, demikian ia biasa disapa, tak mau menganggap ini sebagai alasan untuk tak bersungguh-sungguh menjalani tugasnya sebagai guru.
“Sistem zonasi adalah tantangan. Baik buat guru di sekolah favorit atau bukan. Prinsipnya kita harus menyambut siswa, siapa saja. Agar ia mau belajar bersama,” akunya di sebuah kesempatan.
Pertengahan Juli 2019 lalu, di hari pertama tahun ajaran baru, saat memasuki gerbang sekolah, perempuan yang hobi menari dan menyanyi ini bertemu dengan para peserta didik baru. Sebagian datang didampingi oleh orang tua.
“Saya belum tahu, bagaimana kemampuan peserta didik baru ini. Tapi seberapapun dan bagaimanapun kemampuan mereka, akan menjadi tantangan bagi guru yang mengajar di sekolah yang dianggap favorit atau tidak,” katanya.
Yang jelas, seperti yang sudah dilakoni di tahun-tahun lalu, ia sigap menyiapkan pelajaran untuk para murid baru. Mendandani ruang kelas, hingga teknik belajar yang menyenangkan.