Rumah di Jalan Mangga 21, Kelurahan Tambaksari, Surabaya itu nampak sunyi. Hanya ada beberapa orang yang datang karena ingin tahu, mengerjakan tugas sekolah, atau hal lain.
Rumah ini adalah jembatan bagi kita untuk mengenal dan mengenang Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu ‘Indonesia Raya’. Musisi jenius, aktivis gerakan pemuda, yang perjalanannya sarat dengan gejolak sekaligus sepi.
Dari sebuah papan dalam rumah kita jadi tahu, di sinilah Supratman disemayamkan sebelum akhirnya dimakamkan di Jalan Kenjeran. Ia meninggal 17 Agustus 1938, tepat tujuh tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibaca Soekarno di Jakarta.
Supratman, atau Soepratman, ejaan lama, meninggal tanpa meninggalkan anak ataupun istri. Ia memang belum menikah hingga saat tutup usia. Meski ada catatan menyebut ia pernah dekat dengan seorang perempuan, Supratman konon tak pernah membawanya ke pelaminan.
Beberapa saat sebelum meninggal, ia sempat berkata pada Oerip Kasan Senari, saudara iparnya, “Nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saya meninggal saya ikhlas. Saya toh sudah beramal berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka”.
Supratman paham betul resiko perjuangan. Melangkah di jalan pedang membuatnya hidup berpindah-pindah demi menghindar dari kejaran tentara Hindia-Belanda. Terlebih usai penampilannya di Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Saat itu, di malam penutupan kongres, 28 Oktober 1928, ia memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta. Lagu ini berjudul Indonesia Raya.
Mengutip Wikipedia, penyajian secara intrumental ini atas saran Soegondo Djojopuspito, tokoh pemuda yang memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua, karena alasan keamanan kala itu.
Namun lantunan sunyi itu kemudian jadi penyemangat luar biasa bagi para aktivis masa itu. Sesudahnya, di tiap momen pergerakan nasional hingga acara partai-partai politik, Indonesia Raya langsung berkumandang.
Lagu ini langsung dapat label terlarang dari Pemerintah Hindia Belanda. Dan nama WR Supratman langsung masuk daftar orang paling diburu.
Atas nasehat kawan-kawannya, ia meninggalkan Batavia dan bersembunyi di Cimahi. Karena tempat persembunyiannya diketahui, ia pindah ke Pemalang, Jawa Tengah, kemudian berpindah lagi ke Surabaya.
Di kota ini Supratman ditangkap pada awal Agustus 1938. Saat itu ia menyanyikan lagu ciptaannya terakhir, ‘Matahari Terbit’, bersama pandu-pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya.
Supratman langsung ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Setelah melewati hari-hari yang berat karena siksaan aparat, ia meninggal pada 17 Agustus 1938.
Kini, WR Supratman menikmati kemerdekaan di peristirahatannya di Jalan Kenjeran, Surabaya. Sebuah kompleks makam seluas 1000 meter persegi yang dikelilingi pagar besi dan tembok tinggi. Terbaring di bawah pendopo berlantai marmer coklat muda. (hendro d. laksono | foto : m. syaiful anwar)