Mustajab adalah penuntun jalan. Darinya kita mengenal detail Masjid Ampel, termasuk sisi historis yang tak banyak diketahui masyarakat. Dengan lancar, Mustajab bertutur sejarah Sunan Ampel dan peradaban masyarakat tempat ini dari masa ke masa, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.
Seperti hari itu, ia mendampingi sejumlah pengunjung. Penuh semangat ia bercerita tentang kawasan wisata religi yang terletak di Surabaya Utara ini.
Sesekali, kakek berusia 77 tahun ini menyelipkan candaan dan secuil pengetahuan tentang betapa pentingnya sholat bagi kita.
Mustajab adalah nukilan kecil kehidupan sehari-hari di kawasan Ampel. Di luar itu adalah pengunjung yang terus berdatangan, hingga pedagang yang tak menyerah mengadu nasib.
Selebihnya, sejarah panjang Majapahit Ampel yang dibangun oleh Raden Rahmatullah yang terkenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Dari Mustajab dan sejumlah literasi sejarah, kita akan tahu jika inilah masjid tertua ke-3 di Indonesia. Masjid ini dibangun pada tahun 1421 Masehi.
Sunan Ampel adalah salah satu Wali Songo atau Wali Sembilan yang berjasa menyebar Agama Islam di tanah Jawa. Lelaki bernama asli Raden Mohammad Ali Rahmatullah ini lahir pada 1041 Masehi di Champa, Kamboja.
Memasuki umur 20 tahun, ia memutuskan untuk pindah ke tanah Jawa, tepatnya di Surabaya. Kala itu Surabaya merupakan daerah kekuasaan Majapahit di bawah Raja Brawijaya.
Suatu ketika ia mendapat tugas untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit. Sebagai balasannya, Raden Rahmat mendapat pinjaman tanah seluas 12 hektar di daerah Ampel Denta atau Surabaya.
Tanah pinjaman Raja Majapahit ini kemudian digunakan sebagai pusat syiar Agama Islam. Seiring waktu pula, Raden Rahmat kemudian akrab dipanggil dengan nama Sunan Ampel.
Keunikan bentuk dan arsitektur masjid mengandung pesan keagamaan yang dalam dan harus diungkap sebagai pengetahuan bagi masyarakat umum. Atap masjid yang berbentuk tajuk, piramida bersusun tiga, mengingatkan akan arsitektur Majapahit.
Tajuk dalam tradisi Jawa menggambarkan gunung yang diyakini sebagai tempat suci. Atap tersebut adalah elemen Hindu-Budha. Tetapi tiga tingkat atap tersebut dimaknai sebagai Islam, Iman, Ihsan. Mencerminkan kesempurnaan seorang Muslim. Islam, Iman, dan Ihsan adalah inti dari ajaran agama Islam.
Sesorang harus menjalankan rukun Islam yang terhitung ada lima, mengimani rukun Iman yang berjumlah enam, dan mampu melaksakan konsep Ihsan yaitu totalitas ibadah dan berserah diri kepada Allah.
Simbolisasi Ihsan dengan atap tertinggi dikarenakan Ihsan menempatkan seorang hamba begitu dekat dengan Tuhannya.
Susunan tiga atap ditopang dengan empat pilar utama yang terbuat dari kayu jati, masing-masing berukuran 17 x 0,4 x 0,4 meter tanpa sambungan.
Secara keseluruhan, tiang di dalam Masjid Ampel berjumlah 16 dengan ketinggian yang sama, 17 meter. Angka 17 menunjukkan jumlah rakaat sholat dalam sehari. Tinggi tiang merupakan simbolisasi ajaran hadist yang menekankan pentingnya shalat dalam kehidupan orang Muslim.
Selain itu masih ada 48 pintu di sekeliling tembok masjid dengan lebar 1,5 meter dan dua meter. Bentuk lengkungan di atas tiap-tiap pintu menunjukkan pengaruh dari arsitektur Arab.
Tak hanya itu, ada pula beberapa mitos yang masih dipercaya oleh masyarakat sekitar dan peziarah. Yang pertama adalah sosok yang biasa disebut dengan nama Mbah Bolong.
Lelaki ini memiliki nama asli Mbah Sonhaji. Dikisahkan, ia dapat menentukan arah kiblat masjid hanya dengan cara melubangi dinding sebelah barat. Dan atas kehendak Allah, semua orang dapat melihat Ka’bah dari lubang tersebut.
Kisah kedua yang berkembang kuat di kawasan ini adalah sosok Mbah Soleh yang dipercaya memiliki sembilan nyawa. Ini dibuktikan dengan jumlah sembilan makam yang semuanya milik Mbah Soleh.
Masih menurut Mustajab, juru kunci tempat ini, dulu Sunan Ampel pernah mengeluhkan kebersihan masjid setelah meninggalnya Mbah Soleh. Lalu, Mbah Soleh hidup dan membersihkan masjid. Lalu meninggal dan hidup lagi, hingga wafatnya Sunan Ampel, Mbah Soleh dipercaya sudah tidak hidup lagi.
Adapula sebuah kolam yang jarang diketahui oleh khalayak yang bertempatan di Ampel Blumbang tidak jauh dari Masjid Ampel.
“Konon, pada masanya ada seseorang yang pernah memasukkan kakinya ke dalam kolam dan dia terjatuh di kolam tersebut. Dia tidak bisa berenang, sampai saat ada yang menariknya keluar dari dalam kolam. Dengan wajah terkejut dia bukan berada lagi di Ampel. Melainkan dia berada di Mekkah,” cerita Mustajab.
Benar tidaknya cerita ini tentu sulit dibuktikan. Orang hanya menganggapnya sebagai mitos, bahkan misteri yang tenggelam dalam sunyi. (naskah dan foto : fadhilah yunviani/himmarfi)