Yogyakarta (indonesiaimages.net) – Peringatan World Day for the End of Fishing and Fish Farming (WoDEF) 2025 kembali mengangkat isu eksploitasi hewan akuatik yang sering luput dari perhatian. Jutaan ikan dan biota laut lainnya mengalami penderitaan akibat praktik perikanan yang tidak manusiawi dan merusak lingkungan.
Secara global, sekitar 1,1 hingga 2,2 triliun ikan liar ditangkap setiap tahun, sementara 124 miliar ikan budidaya dibunuh untuk konsumsi.
Banyak di antaranya mengalami penderitaan yang panjang, seperti mati lemas, pembuangan isi perut saat masih hidup, atau dibunuh dengan metode menyakitkan. Dalam industri akuakultur, ikan dipelihara dalam kondisi padat, kekurangan oksigen, dan rentan terkena penyakit.
Budidaya udang pun tak lepas dari kekejaman, dengan praktik pemotongan tangkai mata secara menyakitkan untuk mempercepat reproduksi.
Krisis Lingkungan Akibat Perikanan Tak Berkelanjutan
Menurut data PBB, eksploitasi berlebihan telah menempatkan ekosistem laut dalam kondisi kritis. Sekitar 64 persen stok ikan dikategorikan sebagai dieksploitasi berlebihan, sementara 23 persen telah sepenuhnya dieksploitasi. Artinya, ikan ditangkap lebih cepat dibanding kemampuan mereka untuk berkembang biak dan memulihkan populasi.
Tak hanya itu, industri perikanan menjadi penyumbang besar polusi laut. Investigasi terhadap Great Pacific Garbage Patch mengungkap bahwa 46 persen sampah terapung terbesar di dunia berasal dari jaring ikan yang terbengkalai.
Setiap tahunnya, sekitar 600.000 hingga 800.000 ton alat tangkap hilang di lautan dan butuh hingga 600 tahun untuk terurai.
Mikroplastik yang dihasilkan mencemari ekosistem laut, menyebabkan lebih dari 100.000 paus, lumba-lumba, anjing laut, dan penyu mati akibat terjerat dalam alat tangkap yang dibuang sembarangan.
Di sisi lain, budidaya ikan yang tidak berkelanjutan turut merusak lingkungan. Limbah dari akuakultur, termasuk kotoran ikan, sisa pakan, serta bahan kimia seperti antibiotik dan pestisida, mencemari perairan sekitar.
Tambak udang dan ikan juga berkontribusi terhadap perusakan hutan bakau, yang berperan penting dalam menyerap karbon dan melindungi garis pantai.
WoDEF 2025: Saatnya Beraksi
Untuk memperingati WoDEF 2025, sebanyak 190 organisasi di seluruh dunia menggelar berbagai aksi guna mengungkap dampak industri perikanan dan akuakultur.
Di Indonesia, Animal Friends Jogja mengadakan talk show bersama Love Jogja FM pada 26 Maret 2025, membahas dampak eksploitasi ikan dan mencari alternatif yang lebih etis serta berkelanjutan.
Wahyu Eka Styawan, Direktur WALHI Jawa Timur, menyoroti dampak buruk overfishing terhadap ekosistem pesisir.
“Metode seperti cantrang menangkap ikan yang belum dewasa, merusak terumbu karang, dan mengganggu ekosistem laut. Akibatnya, populasi ikan menurun dan habitat mereka hancur, menciptakan ‘kiamat kecil’ di perairan utara Jawa,” ujarnya.
Sementara itu, Lilo Dwi Julianto dari Animal Friends Jogja menekankan pentingnya regulasi yang lebih ketat untuk menghentikan eksploitasi hewan akuatik.
“Industri dan pemerintah harus bertindak untuk memastikan praktik perikanan yang lebih etis dan berkelanjutan. Jika tidak, kita hanya akan mempercepat krisis ekologis yang berdampak luas bagi masyarakat,” pungkasnya.
WoDEF 2025 menjadi momen refleksi bahwa eksploitasi hewan akuatik bukan sekadar isu kesejahteraan hewan, tetapi juga ancaman nyata bagi keseimbangan lingkungan dan kehidupan manusia di masa depan. (tia)