Tragedi Lumpur Lapindo adalah kepedihan yang tak tertahankan. Tidak hanya bagi warga yang terpaksa hengkang dari bumi kelahirannya, tapi juga bagi Mamuk Ismuntoro, fotografer pendiri Komunitas Matanesia. “Saya tinggal di kawasan terimbas bencana. Dan saat ini terjadi, saya berjanji pada diri sendiri. Saya akan terus memotret tragedi ini,” tegas Mamuk di depan peserta Forum Klub Jurnalistik, diskusi dan presentasi foto ‘Tanah yang Hilang, Satu Dekade Lumpur Lapindo’, di Universitas Widya Mandala, Surabaya, Jumat (20/5) sore.
Dari niat ini Mamuk sadar, sejak Mei 2006 itu, ia akan berurusan dengan personal project seumur hidup. “Saat itu saya bekerja di sebuah majalah yang isinya traveling, art and culture, kuliner, dan sejenisnya. Media saya nggak mungkin memuat ini,” paparnya.
Untuk itu, sembari terus memotret, ia menjajaki beberapa kemungkinan untuk ruang display karya. “Saat itu yang mungkin ya pameran dan diskusi foto,” katanya. Sampai suatu saat, ia mendapat kesempatan untuk menerbitkan buku. “Saya didukung beberapa kawan kemudian menerbitkan Tanah yang Hilang, sebuah buku documentary photo,” kenang senior photographer indonesiaimages.net ini. Dari forum lokal, lanjut dia, Tanah Yang Hilang juga berkembang jadi wacana di forum nasional bahkan dunia.
Selain bercerita lika-liku personal projectnya, Mamuk juga memaparkan sejumlah konsep dasar yang wajib dimiliki seorang documentary photographer. Yakni kemampuan foto jurnalistik itu sendiri, pendekatan artistik, dan kesabaran untuk mendengar. Karena seperti diakui Mamuk, sejak 2006, ia berurusan dengan orang tersisih, bahkan traumatis. Tidak semua orang yang ia ajak bicara mau difoto atau bercerita.
“Sehingga saya seringkali datang bukan untuk memotret, tapi sekadar berbicara. Mendengar keluh kesah mereka. Sampai perlahan tapi pasti mereka percaya dan kemudian tidak keberatan untuk difoto,” papar bapak tiga anak ini sambil tersenyum.
Di depan peserta diskusi, ia juga mengaku terus terang. “Kadang jenuh dan putus asa. Tapi saya percaya, apa yang saya lakukan ini akan bermanfaat. Entah sekarang, entah nanti. Entah untuk orang lain, entah untuk diri saya sendiri,” tandasnya.
Diskusi berlangsung hingga pukul empat sore, dipandu Vika Wisnu, praktisi media sekaligus dosen komunikasi.