Serikat Petani Indonesia (SPI) mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengkoreksi data produksi beras termasuk data lahan baku sawah, luas panen, dan produksi beras, dengan menggunakan metode baru.
Dari koreksi ini diperoleh data baru, luas baku sawah yang berkurang dari 7,75 juta hektar tahun 2013 menjadi 7,1 juta hektar tahun 2018. Sementara potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10,9 juta hektar dan produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras.
Henry Saragih, Ketua Umum SPI mengatakan, data dari metode pengumpulan data yang baru ini mesti disyukuri, yang tentunya tidak lagi menimbulkan pro kontra dan polemik terkait data produksi padi dan beras.
“Semoga data ini lebih valid. Data adalah pangkal semua kebijakan di belahan negara manapun, tak terkecuali di Indonesia. Jika data yang jadi dasar membuat kebijakan tidak valid alias salah, kebijakan yang dibuat berpotensi besar untuk salah,” papar Henry.
“Jika kebijakan itu menyangkut hajat hidup orang banyak — seperti impor beras — kebijakan itu potensial untuk menyengsarakan banyak orang. Karenanya, data yang baru ini mesti jadi momentum baru untuk membuat kebijakan yg lebih baik dan menyejahterakan rakyat, termasuk petani,” lanjutnya.
Henry mengapresiasi langkah pemerintah karena ini adalah koreksi atas kesalahan sudah berlangsung selama puluhan tahun, setidaknya sejak 1999. “Ini adalah pekerjaan yang luar biasa dari pemerintahan sekarang,” tuturnya.
Henry menambahkan, setelah koreksi data produksi beras ini, masih banyak pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan pemerintah, itu pasti. Data baru tentu saja membawa berbagai konsekuensi, koreksi dan penyesuaian-penyesuaian, itu juga pasti dan memang harus dilakukan; termasuk soal penganggaran, dan sebagainya.
“Kita optimis dengan data baru ini kedaulatan pangan akan tercapai, karena luasan lahan pertanian pangan akan bertambah dengan redistribusi tanah melalui reforma agraria dan perhutanan sosial. Tanah yang jutaan hektar yang diredistribusi ke petani tersebut akan menjadi lahan memproduksi pangan dengan model agroekologi,” tutupnya. (hendro d. laksono | foto : istimewa)