Sebuah rumah bergaya Bali tradisional berdiri kokoh di Jalan Jendral Ahmad Yani, Lawang. Dua payung berwarna gelap menaungi pintu masuk. Pepohonan yang tumbuh rindang, menciptakan suasana tenang dan jauh dari perkotaan yang bising. Ya, inilah Museum Kesehatan Jiwa dr. Rajiman Wedyodiningrat Lawang.
Memasuki museum, pengunjung akan langsung melihat pigura besar yang bertuliskan sejarah mengenai Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sumber Porong, Lawang. Persis di sampingnya, terdapat pula sebuah monumen yang mengabadikan tanggal peresmian museum.
“Museum ini diresmikan pada tahun 2009,” terang Herman, tour guide museum. Berbagai hiasan khas museum seperti tanaman, pigura, serta meja buku tamu tak ketinggalan menghidupkan museum ini.
Di salah satu sudut ruang, nampak dua patung berpakaian ala dokter pria dan wanita asal Belanda. “Pakaiannya asli seperti itu pada jamannya. Serba putih. Ini fotonya,” terang Herman yang juga bekerja di RSJ Lawang, sambil menunjuk sebuah bingkai foto di sebelah patung.
Selanjutnya, pengunjung diajak masuk dalam ruang kerja D.J. Hulshoff Pol, pendiri RSJ Sumber Porong Lawang. Sebuah meja kayu jati yang masih amat terawat, dan berbagai perabot di atasnya seperti lonceng, telepon, dan lain-lain, menjadi properti utama yang ditonjolkan di ruangan tersebut.
Juga puluhan pigura berisi foto pendiri dan direktur RSJ, sebuah almari coklat yang memuat beragam ensiklopedia dan buku-buku tua terbingkai di sudut ruangan, masih begitu bersih dan rapi.
Dari cerita Herman, pasien penyakit jiwa yang gawat sekalipun juga tetap membutuhkan hiburan. Untuk kebutuhan ini, mereka biasanya memanfaatkan sebuah ruang berukuran kecil berhias barang-barang lama.Seperti pemutar piringan hitam, proyektor film, puluhan piringan hitam, dan masih banyak lagi.
“Dulu, pasien yang sudah tidak terlalu gelisah pasti diajak untuk nonton film atau dengerin lagu. Mereka akan dipanggil untuk berkumpul bersama dan menonton. Sayangnya, pemutar piringan hitamnya sudah tidak terlalu berfungsi,” sesal Herman.
Di ruangan selanjutnya, nampak berbagai alat terapi bagi pasien terpajang secara rapi. Jendela berukuran besar yang tersorot sinar matahari begitu cerah tidak dapat mengurangi bayangan menyeramkan yang diakibatkan oleh informasi-informasi seputar penggunaan alat-alat tersebut.
“Dulu ada 7 dokter laki-laki dan satu profesor wanita, datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian. Ini adalah salah satu alat yang digunakan, yaitu pengiris otak. Jadi kepala orang yang sudah meninggal dimasukan ke sini lalu dibuka. Itu semua untuk penelitian berdasarkan ijin keluarga juga,” terangnya.
Selain alat pengiris otak, terdapat pula dua patung yang memakai baju khas pasien gawat RSJ, bathtub yang juga khusus untuk pasien gawat, pasung, serta pajangan janin tanpa nama berusia ratusan tahun.
Salah satu hal yang juga menarik, di museum ini, tersimpan lukisan karya pasien rumah sakit jiwa. Karya yang memiliki aliran berbeda-beda ini dipajang bersama dengan peralatan hiburan lainnya bagi pasien seperti meja billiard, alat penenun, dan lain-lain.
Meskipun hanya sebagai salah satu bentuk terapi, namun lukisan karya pasien-pasien tersebut layak untuk diberi apresiasi tinggi.
Keberadaan museum ini, seolah menjawab penasaran kita pada metode pengobatan di masa lalu. Selain membawa pengunjung melihat masa lalu RSJ tertua kedua di Indonesia, museum yang buka setiap Senin hingga Jumat ini juga ingin memberikan pengetahuan-pengetahuan dasar seputar ilmu kejiwaan.
Berbagai pigura yang berisikan informasi-informasi tersebar di penjuru museum. Tak hanya informasi, namun juga kejadian-kejadian bersejarah seputar ilmu jiwa. (Celia Maria, Inneke Fransiska)