Melintas di kawasan Bulak Banteng, Surabaya, usai melihat gedung dan rumah modern, kita akan bertemu bangunan bergaya tradisional. Lengkap dengan rumput hijau yang menghampar, permainan anak-anak, hingga perabot rumah tradisional.
Inilah graha busana nusantara, Rumah Batik Jawa Timur. Berdiri di Jl Dukuh Bulak Banteng Timur No.34 VA, Kenjeran, Surabaya, tempat ini berkembang menjadi sentra batik yang sering dikunjungi wisatawan.
Gagasan Rumah Batik dimulai saat Faedah Ismail aktif di Asosiasi Batik Jawa Timur. Saat itu, ia melihat kesenjangan antara batik Jawa Tengah dan Jawa Timur. Padahal, batik Jawa Timur tak kalah berkualitas ketimbang produk Jawa Tengah. Lewat proses yang cukup panjang, ditambah adanya dukungan dari pemerintah provinsi, Rumah Batik pun berdiri dan diresmikan oleh Imam Utomo, Gubernur Jawa Timur, pada tahun 2008.
Gebrakan Rumah Batik dimulai saat memecahkan rekor membuat batik logo Jawa Timur berukuran 20×10 meter. Penghargaan Museum Rekor Indonesia pun diraih.
Selebihnya, Rumah Batik mengandalkan produk khas 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur yang rata-rata sudah memiliki batik unggulan. Seperti batik Jember, Bojonegoro, hingga Madura.
Selain motif, cara perawatan dan karakteristik setiap batik juga berbeda. Contoh, batik Bangkalan dengan Pamekasan memiliki finishing yang berbeda. Batik Bangkalan menggunakan finishing menggunakan kanji. Sehingga teksturnya kaku dan tebal. Ini berbeda dengan batik Pamekasan yang finishingnya hanya di cuci. Sehingga kain yang dihasilkan lebih lembut.
Sumber di Rumah Batik ini mengatakan, cara perawatan setiap batik memang tidak terbilang mudah. Batik Bangkalan misalnya, karena menggunakan kanji, apabila disimpan lama maka warnanya akan awet. Apabila ingin diproses menjadi pakaian, sebaiknya kanji dihilangkan terlebih dahulu.
Ada dua cara yang digunakan. Pertama, dicuci menggunakan deterjen. Dan yang ke dua, hanya direbus dengan air panas. Katanya, cara kedua ini lebih baik karena dipercaya lebih bisa menjaga kain batik tetap awet.
Kepedulian pemerintah terhadap Rumah Batik tidak hanya berbentuk subsidi. Tetapi fasilitas dan akses kerja sama dengan museum di Surabaya dan Asosiasi Perajin Batik Jawa Timur. Untuk pemasaran, batik-batik ini hanya mengandalkan penjualan di Rumah Batik, penjualan online, dan jaringan market Mirota. Dari perajin Jawa Timur lainnya, diperoleh akses ke pelanggan strategis yang memiliki jabatan penting di sekolah, pemerintahan, universitas, hingga rumah sakit.
Bagi pengelola Rumah Batik, tren batik printing sebenarnya bukan hal yang cukup baik. Mereka tetap menyarankan agar memakai batik tulis atau cap. Karena batik printing dinilai hanya testing bermotif batik. Bicara proses, batik-batik ini jelas berbeda.
Batik printing misalnya. Proses produksi yang digunakan tak ubahnya membuat kaos, karena mengandalkan sablon. Sementara batik cap dan tulis sama-sama menggunakan lilin. Bedanya, batik cap menggunakan stamp, batik tulis menggunakan canting.
Untuk mengasah kepedulian masyarakat pada batik, rumah ini juga membuka khursus membuat batik. Hingga kini, peminat yang datang rata-rata dari sekolah-sekolah di Surabaya. Meski pendaftar individu juga cukup banyak.
Untuk kursus sehari dengan waktu 2-3 jam, pendaftar dikenai biaya Rp 75 ribu per orang. Dimana kapasitas pendaftar sebanyak 50 orang. Untuk mereka yang tertarik belajar on the spot, ada layanan buat 4 atau 5 orang dan langsung diajarkan. Asal waktunya tidak bertabrakan dengan jadwal yang lain. (stella vania, christian budi)