Menjadi perajin barongsai dan liong naga adalah kebanggaan tersendiri bagi Martinus Doel Wahab (84), warga Kemetiran Kidul, Yogyakarta. Apalagi kiprahnya selama puluhan tahun, diakui sebagai salah satu perajin yang masih eksis hingga kini.
Semangat bapak enam anak ini selalu menggelora saat menceritakan kisah pengalamannya berkenalan dengan kesenian barongsai dan liong naga.
Dari rumahnya yang sederhana, di sebuah gang sempit yang setiap pagi dijadikan sebagai pasar, Pak Doel, panggilan akrabnya, sibuk membuat karya. “Awal perkenalan saya dengan kesenian barongsai ketika masih berusia 12 tahun,” akunya.
Dan sejak pensiun dari pekerjaannya di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta, tepatnya sejak tahun 1991, Pak Doel memulai usaha pembuatan barongsai dan liong naga secara otodidak.
“Menjelang Imlek tahun ini, saya sudah menyelesaikan pesanan 15 barongsai dan 3 liong naga,” katanya. Dikatakan, banyak pesanan yang datang untuk membuat barongsai dan liong naga selama menjelang imlek. Tetapi banyak yang dia tolak, karena keterbatasan tenaganya untuk membuat dalam jumlah yang besar.
“Saya ini sudah tua, sudah tidak bisa membuat barongsai yang banyak seperti dulu,” ujarnya.
Meskipun tidak memiliki darah Tionghoa, Pak Doel memiliki rasa kecintaan yang sangat besar terhadap kebudayaan Tionghoa. Selain sebagai pengrajin, pada tahun 1991 dirinya juga sempat mendirikan kelompok Naga Barongsai ‘Isaku Iki’ yang masih eksis sampai saat ini.
“Nama Isaku Iki jika didengarkan seperti kechina-chinaan, tapi sebenarnya Bahasa Indonesia-nya ya ‘bisa ku ini’,” ujar Pak Doel sambil tertawa.
Kesenian barongsai yang hampir terlupakan oleh generasi muda karena arus modernisasi di Yogyakarta disesali oleh Pak Doel. Walau demikian dirinya tetap berkomitmen untuk melestarikan kebudayaan Tionghoa semampu dirinya. “Saya ini suka barongsai dan liong naga, kalau tidak ada pesanan saya tetap bikin karena saya suka dan cinta,” ujar Pak Doel.
FOTO SELENGKAPNYA KLIK GALLERY