Pidato Penghabisan, inilah sebutan untuk pidato terakhir Bung Tomo dari pemancar radio di Jl Mawar 10-12 Surabaya. Pidato penuh semangat ini disampaikan tengah malam pada 10 November 1945, menjelang perang besar.
Pidato agitatif yang menimpali pernyataan resmi Gubernur Suryo yang beberapa jam sebelumnya menolak ultimatum di RRI, benar-benar bikin merinding.
Namun, seungguhnya sejak beberapa bulan terakhir sebelum meletus perang, siaran radio yang digawangi Bung Tomo inilah yang justru selalu ditunggu-tunggu. di sudut-sudut kampung, di pesawat radio umum, orang-orang selalu menanti kabar terbaru nasib republik yang makin memanas tidak keruan. Berita yang sulit didapat dari RRI yang cenderung hati-hati.
Menurut buku ‘Pertempuran 10 November, Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah’ karya Bung Tomo, disebutkan pucuk pimpinan divisi pemberontakan radio ini mula-mula ingin meminjam RRI jadi pemancar corong pemberontakan. Namun residen Surabaya Doel Arnowo menolak dan mendorong agar dibangun sendiri radio bawah tanah. “Biar RRI menjadi radio resmi saja,” kata Arnowo.
Sekali saja Bung Tomo pidato di RRI, setelah itu digaraplah pemancar baru itu. Pemuda Hasan Basri dan kawan-kawan merampas pemancar radio terbesar milik angkatan laut Dai Nippon dan mengusungnya di rumah Jl Mawar. Rumah milik pemuda Amin, teman Bung Tomo. Ditambah pemuda Arief Rahman melengkapi pemancar baru hasil pampasan. Orang-orang ‘gila’ waktu itu.
Tidak lama, siaran pertama mengudara, kira-kira dua bulan sebelum meletus perang. Gelombang pancarnya sangat kuat, suaranya bisa ditangkap seantero Indonesia. Bahkan hingga ke Los Angles AS dan Melbourne, Australia.
Bung Tomo berhasil membujuk tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh suku, dan orang berpengaruh untuk ikut siaran. Berpidato dalam bahasanya masing-masing. Isinya mengajak siapapun datang ke Surabaya, menyambut rencana kedatangan sekutu dengan angkat senjata. Cara di luar kelaziman.
Hasilnya manjur, para santri NU bergelombang datang ke Surabaya setelah beberapa kiai, berpidato di corong radio ini, orang-orang ‘merah’ dipanggil oleh kawan-kawannya masa 1926, Pemuda Sulawesi Utara, Manguni berhasil mengajak ribuan pemuda Minahasa eks KNIL, keluar barak dan ke Surabaya. Subarjo, pelaut di kapal Belanda sampai desersi dan ke Surabaya juga karena radio ini.
Setiap awal dan akhir pidato didengarkan instrumen lagu Tiger Shark The Hawaiian Islanders. Radio ini benar-benar menjadi corong yang mengambarkan suasana hati Surabaya akhir-akhir itu. Lebih lengkap lagi karena Drg Sugiri, belakangan mengenalkan perempuan Amerika pro republik yang kelak bernama udara, Ktut Tantri, menjadi bagian dari agitator di radio ini. Dia yang bersiaran berbahasa Inggris.
Selain Bung Tomo dan Ktut Tantri, penyiar Radio pemberontkan bergantian sepanjang siang dan malam. Ada Sulastri Sukandi, Kustondo, Mashur, Suprapto, Sutopo, Alif Hanta, dan lain-lain.
Namun hanya segelintir orang yang tahu jika radio pemberotakan itu terpancar dari sebuah rumah di Jalan Mawar 10-12. Sebab ini radio bawah tanah.
Saat perang meletus, radio ini menjadi corong penyemangat, pembocor gerakan musuh, penghubung antarpasukan. Sekitar hari ke-10, Pemancar Radio ini terpaksa diboyong keluar dari rumah Jl Mawar, Radio ini berangsung angsur pindah akibat tentara Inggris yang mulai mengringsek menguasai kota.
Mula-mula pindah ke rumah di Jl Biliton Surabaya, beberapa hari kemudian terpaksa pemancar ini dipikul ke kota Bangil, Pasuruan, hanya dalam hitungan jam, radio pindah lagi ke Jl Gintung Kota Malang. saat Inggris sampai Malang sebulan kemudian, radio ini geser ke pedalaman, di desa Kedung Kandang Malang.
Untungnya, rumah pemancar radio di Jl Mawar 10-12 Surabaya tetap aman ketika Indonesia merdeka, sehingga setiap tahun sejak 10 November 1950, di rumah ini jadi ajang reuni berkumpulnya Bung Tomo, Arnowo dan tokoh penjuang lainnya untuk sekadar syukuran.
Ironisnya, aman dari bombardir sekutu, rumah bersejarah ini justru hancur lebur dibongkar bangsa sendiri. Menyedihkan. (kuncarsono prasetyo/foto : dok)
sumber : akusurabaya.com