Setiap orang memiliki zamannya sendiri. Dan setiap zaman memiliki orangnya sendiri. “Dalam perkembangannya, media massa, apalagi industri, bergerak sangat cepat. Dari media konservatif, lalu ada istilah media massa modern. Dari kertas dan cetak, kini digital,” papar Arif Afandi, Pimpinan Umum Majalah NU Aula, membuka Forum Klub Jurnalistik : Rasan-rasan Serius ‘Media Massa di Luar Kaca’, Rabu (27/4) sore, di Warung Mbah Cokro, Jl Raya Prapen, Surabaya.
Saat platform media berubah, ada standar pekerjaan jurnalistik yang juga berubah. Seperti deadline, panjang naskah, bahkan toleransi-toleransi yang berhubungan dengan akurasi. “Saya juga ingin tahu, apakah standar etikanya juga berubah?” tanya Arif sambil tersenyum.
Mantan Wakil Walikota Surabaya ini kemudian mengajak peserta berkontemplasi lewat paparannya. Bahwa saat zaman berubah, sering kali muncul permasalahan-permasalahan baru.
“Ada kecemasan, ada goncangan. Tapi sebagai seorang yang selalu mencoba berpikir positif, saya percaya, ini awal untuk mencapai keseimbangan,” jelasnya.
Masalahnya, lanjut Arif, seberapa cepat fase keseimbangan itu tercapai. Keseimbangan yang dimaksud adalah positioning media massa sebagai sumber informasi masyarakat, sistem sosial, dan, dengan sendirinya, aspek jurnalisme itu sendiri.
Saat media bergerak di fase baru yang memberi ruang pada kecepatan dan luas penyebaran, Arif melihat, ada trend baru yang kemudian berkembang. “Dulu, kelompok yang bisa membuat framing atas sebuah peristiwa adalah wartawan itu sendiri. Karena wartawan dan lembaga media memang memiliki otoritas, otonomi, dan standar etik,” kata mantan Pimpinan Redaksi Harian Jawa Pos ini.
Kini, lanjut dia, setiap orang bisa menyampaikan informasi, termasuk framing dan fakta. “Sah saja jika lantas ada pertanyaan, bagaimana dengan standar etika? Otoritas? Jika seseorang menyebar berita, karena sekarang semua bisa membuat media online, harusnya tetap berpegang teguh pada etika. Bagaimana dengan pengguna sosial media?” papar Arif.
Arif masih percaya, meski ada pergerakan mendasar tentang batas verifikasi, wartawan media online, atas nama etika, akan terus berupaya bekerja di koridor ideal. “Setidaknya lewat running news, ada peluang lebih lebar untuk klarifikasi, konfirmasi,” tegasnya.
Sayang, di luar media yang menjunjung etika, ada juga yang lalai. Ini jadi persoalan. Karena berita sebagai produk digital, bisa dicopy, yang sepotong bisa diviralkan di media sosial. “Bagaimana kontrolnya? Kan susah. Berita sepotong tersebar kemana-mana, persepsi pengguna media sosial ikut salah gara-garanya,” sesal Arif.
Informasi di media online yang diviralkan di media sosial, akhirnya jadi realitas persepsi. Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Di depan sekitar 70 peserta diskusi yang hadir, Arif kemudian memberi beberapa jurus sederhana. Pertama, katanya, setiap pengguna medsos, harus tetap berpikir kritis pada setiap informasi yang disebar. Sebelum menyebar sebuah link berita misalnya, kita perlu berpikir bijak tentang kebenaran isi berita, dampaknya jika disebar, dan lain sebagainya.
Kedua, Arif menyarankan, kita perlu membangun sistem yang baik di lingkungan sendiri. Tidak perlu melarang, tapi ada dialog dan penjelasan rasional. Misalnya di keluarga.
Ketiga, penegakan hukum yang berkesinambungan. Misalnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Jika ada persoalan muncul, misalnya fitnah di media sosial, tak perlu memperkeruh suasana dengan ikut menggalang opini tandingan. “Gunakan jalur hukum, niatnya sama-sama belajar. Saling mengingatkan,” kata Arif lagi.
“Hingga saat ini, kita masih masuk di fase menuju keseimbangan. Tak perlu cemas, tak perlu marah-marah. Kita sama-sama berproses. Karena itu, perna aktif kita sebagai pembaca media, pengguna media, perlu diperkuat tidak sebatas aktif. Tapi mengerti, dan yang paling penting, beretika” pungkas Arif.
Diskusi Klub Jurnalistik yang dipandu moderator Hendro D. laksono, Pimpinan Umum IndonesiaImages.net ini berlangsung gayeng hingga pukul 17.15 WiB. Selain dihadiri praktisi media, forum ini juga dihadiri mahasiswa dan akademisi.