Angin lembut bergerak pelan. “Beliau datang,” kata Murtiningrum BA, juri kunci makam dr Soetomo yang bertempat di komplek Gedung Nasional Indonesia (GNI), Jalan Bubutan 87, Surabaya.
Ditanya siapa yang dimaksud, Murti, begitu ia akrab disapa, “Almarhum dr. Soetomo. Seringkali saat ada seorang yang berziarah, bertiup angin lembut semilir. Itu pertanda bila almarhum senang dengan kunjungan tamu tersebut”.
Sepeninggal ayahnya, Murti menggantikan peran menjadi juru kunci makam. Sehari-hari, wanita berumur 71 tahun ini bertugas membersihkan dan memotong tanaman di komplek makam. Ia juga memandu wisatawan yang datang. “Pengunjungnya beragam. Mulai dari dalam Surabaya hingga turis manca,” cerita nenek ini sesekali terbatuk.
Meski mendapat insentif dari pemerintah, kehidupan Murti terbilang pas-pasan. Menempati rumah peninggalan ayahnya di Kampung BKR belakang komplek GNI. Tidak besar, lebarnya hanya cukup satu set sofa lama lebih sedikit. Tergantung di dinding ruang tamunya foto kakek dan ayahnya. Kakeknya merupakan bekerja di gemente (kota madya). Sementara ayahnya juga bekerja di kota.
Bersama kucing-kucing peliharaannya, wanita ini menjalani hidupnya sebatangkara. Sanak saudara pun tak punya, karena dia anak semata wayang. Ditanya bagaimana kondisi anak-anaknya sekarang. Perempuann itu sejenak menyunggingkan senyumnya, kemudian berlanjut bercerita.
“Seminggu sebelum penyerangan ke Kepulauan Aru saat melawan, saya sudah bertunangan dengan calon suami saya. Kemudian dia diberangkatkan untuk membantu penyerangan. Bertepatan dia menaiki KRI Macan Tutul dan tertembak tenggelam,” terangnya. Setelah itu, ia memutuskan untuk melajang hingga sekarang. “Zaman dulu bila sudah berjanji setia. Dijaga seumur hidup,” imbuhnya.
naskah : fahmi azis | foto : zulfikar firdaus