Tiga remaja itu berhenti di seberang Rumah Abu Han Boei Ko. Di depan bangunan yang berdiri megah di Jalan Karet 72 Surabaya itu mereka memarkir motor lalu melepas jaket. Tawa lepas sesekali terdengar. Satu di antaranya menyiapkan kamera yang semula tersimpan dalam tas.
Masing-masing mengenakan kaos hitam dan celana jeans biru tua. Lalu satu di antaranya mulai bergaya, yang lain sibuk memotret. “Rumah Abu nya harus kelihatan,” kata mereka.
Rupanya rumah Sembahyang Keluarga Han Bwee Koo, yang kini dijadikan museum oleh Pemerintah Kota Surabaya, sudah menarik perhatian mereka sejak beberapa minggu lalu. Sehingga saat libur tiba, mereka bertiga datang untuk turut mengabadikannya. Sekadar di simpan di laptop, kemudian dibagikan di sosial media.
Bangunan yang didirikan keluarga Han pada 1876 itu konon tak berubah dari aslinya. Bedanya, seiring perkembangan jaman, di bagian depan mulai dibangun dua pilar bercat putih. Ada pintu besar pada sisi tengah lengkap dengan pagar besi yang menempel di depan pintu berornamen naga.
Rumah Abu Han Boei Ko adalah satu dari banyak etalase bersejarah di sepanjang Jalan Karet. Karena di sepanjang jalan yang kini sudah dipermak apik ini, kita dengan mudah bisa melihat banyak bangunan megah dengan arsitektur kuno, paduan arsitektur Tiongkok dan Belanda.
Pada pagi dan sore hari jalan ini nyaris tak pernah sepi. Di antara kerumunan pengunjung yang datang, entah bersepeda motor atau dengan kendaraan pribadi, dengan mudah kita temui sejumlah orang yang datang bahkan dari luar Surabaya.
Mereka datang dari beberapa kota di Jawa Tengah, hingga Jakarta dan kota lain di Sumatera dan Sulawesi. Sebagian besar mengaku, mereka datang karena foto-foto bangunan Jalan Karet yang bertebaran di dunia maya.
Abduh, 29 tahun misalnya. Ia datang dari Yogyakarta bersama empat kawan untuk menjelajah Jalan Karet dan kawasan lain di Surabaya Utara. “Kemarin di Jl Gula, lalu melihat Klenteng Hok An Kiong di Jalan Coklat,” akunya.
Hok An Kiong adalah klenteng tertua di Surabaya yang higga kini masih bertahan keasliannya. Hingga kini, banyak orang datang ke tempat itu untuk bersembahyang, lengkap dengan membawa patung Makco atau Ma Co Po, Dewi Pelindung yang dipercaya menjaga para pelaut dan nelayan.
“Sekarang waktunya lihat-lihat Jalan Karet,” katanya buru-buru.
Dari banyak catatan sejarah, Jalan Karet dulunya dikenal sebagai salah satu pusat niaga etnis Cina di Surabaya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kota Surabaya sempat dibagi menjadi dua wilayah yang dibatasi Sungai Kalimas.
Wilayah barat digunakan sebagai pemukiman warga Eropa, sementara sisi timur, termasuk Jalan Karet, digunakan sebagai pemukiman dan tempat usaha masyarakat Tionghoa, Arab dan warga asli Surabaya.
Karena itu tidak heran jika kemudian di Jalan Karet berdiri bangunan-bangunan kuno yang difungsikan sebagai rumah dan tempat usaha. Selain Rumah Abu Han Boei Ko, ada juga Rumah Abu Keluarga Tjoa, gedung PT Bentoel, Rumah Abu Keluarga The, Koperasi Bank Pasar Niaga, dan masih banyak lagi.
foto-foto : tiara aydin sava