Untuk mengantisipasi panas bumi yang tinggi, semua harus bergerak bersama-sama. Bukan semata pemerintah, tapi juga pengusaha dan masyarakat luas. Sehingga tercipta ekosistem bumi yang tetap stabil. Penjelasan ini disampaikan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, dalam sambutan yang dibacakan Asisten 1 Setda Aceh, dalam pembukaan Sosialisasi Nationally Determined Contribution (NDC), di Ruang Potensi Daerah, akhir Agustus 2017 lalu.
Bentuk antisipasi dalam melestarikan ekosistem bumi, kata gubernur, bukan dengan melarang masyarakat menggunakan cara-cara instan, melainkan dilakukan dengan melindungi kawasan hutan. Sebab, tutupan hutan merupakan sarana paling efektif menyerap gas emisi yang menjadi penyebab tingginya suhu bumi.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki luasan kawasan tutupan hutan. Karena itu dunia internasional berharap Indonesia turut berperan aktif menjaga tutupan hutannya agar dapat menjadi benteng untuk melawan perubahan iklim yang mulai ekstrim.
Presiden Jokowi dalam pidatonya di Paris pada Desember 2015, telah menyampaikan komitmennya untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen dari skenario perubahan iklim yang mungkin terjadi hingga 2030. Kontribusi itu bahkan bisa ditingkatkan hingga 41 persen jika ada bantuan dari internasional.
Salah satu tumpuan Indonesia, ujar Irwandi adalah Aceh. Hal itu karena Aceh memiliki tutupan hutan cukup luas. Keseriusan Aceh menjaga lingkungan membuat Pemerintah Aceh memasukkan program tersebut sebagai salah satu program prioritas pemerintah Aceh.
“Ada tiga program yang menyentuh masalah ini. Yaitu Aceh Green, Aceh Energi dan Aceh Seumeugot,” ujar Irwandi. Melalui program itu, Aceh diharapkan mendukung pengurangan emisi sebesar minimal 7 persen dari 29 persen sesuai dengan komitmen Presiden.
Sebagai langkah awal, kata Irwandi, Aceh telah memiliki dua dokumen berkaitan dengan mitigasi perubahan iklim itu yaitu Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Strategi Rencana Aksi Provinsi dalam Mengurangi Emisi akibat Deforestasi dan Degradasi dan Upaya Konservasi.
Komitmen Pemerintah Aceh ikut dipertegas oleh Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Saminunnddin B. Tau. Gubernur Irwandi bahkan telah melakukan moratorium hutan pada periode kepimimpinannya yang lalu. Usia moratorium itu kini telah berjalan 10 tahun. Dua tahun lalu, pemerintah kemudian juga melakukan moratorium tambang.
“Langkah strategis ini menjadi Bukti kita komit untuk mengurangi emisi,” ujar Saminunnddin.
Saminunnddin menegaskan bahwa gubernur sangat komit dengan kebijakan yang dia keluarkan. Dia bahkan merekrut 2000 tenaga kontrak untuk menjaga hutan. “Saya yakin apa yang dilakukan bapak gubernur tidak berani dilakukan daerah lain,” katanya.
Sementara itu, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nurmasripatin, menyebutkan bahwa berpuluh tahun lalu muncul argumen jika pembangunan akan terganggu saat kita mencoba mengurangi emisi rumah kaca. Padahal sangat mungkin melakukan membangun beriringan menjaga lingkungan.
“Banyak studi dan analisis yang menyebutkan bahwa biaya yang harus kita keluarkan sebagai dampak tidak melakukan apa-apa jauh lebih besar daripada mencegahnya,” kata Nurmasripatin.
Hal itu, kata Nurmasripatin dibuktikan dengan berbagai bencana yang terjadi di Indonesia. Sejak 1980 hingga 2016, ada tren peningkatan bencana alam terjadi di Indonesia dan 90 persen di antaranya terkait perubahan iklim dan aktivitas manusia. “Biaya melakukan pemulihan dari bencana sangat besar dibanding biaya kita menjaga alam ini,” katanya.
NDC lahir dari kesepakatan negara-negara yang mengikuti pertemuan COP 21 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Paris tahun 2015 lalu. Kesepakatan tersebut mengadopsi Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang menyepakati penurunan emisi gas rumah kaca.
Negara yang mengikuti pertemuan COP tersebut berkomitmen mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2oC dan menuju 1.5C pada tahun 2100 dibandingkan dengan era pra-industri.
Komitmen itu juga disuarakan Indonesia yang secara nasional menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim yang merupakan salah satu penjabaran Nawa Cita. Hal tersebut merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional, seperti yang tertuang dalam dokumen First NDC.
Dokumen tersebut menuangkan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai satu prioritas yang terintegrasi dan lintas-sektoral dalam agenda Pembangunan Nasional.
Di dalam NDC, Indonesia berpandangan bahwa pencapaian ketahanan iklim kepulauan merupakan sebuah hasil dari pelaksanaan program adaptasi-mitigasi perubahan iklim dan strategi penurunan risiko bencana yang komprehensif.
Di samping itu, Indonesia juga telah menentukan tujuan ambisius mengenai konsumsi dan produksi keberlanjutan terkait pangan, air dan energi yang bisa dicapai melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitas, memperbaiki layanan dasar kesehatan dan pendidikan, inovasi teknologi, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang sejalan dengan prinsip tata kelola yang baik. Komitmen adaptasi Indonesia meliputi peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan sumber penghidupan, serta ketahanan ekosistem dan lansekap.
Mengingat komitmen mengikat yang tertuang dalam NDC merupakan hal baru bagi negara berkembang termasuk Indonesia, maka untuk mengimplementasikannya diperlukan strategi yang sesuai dengan tingkat kesiapan masing-masing negara.
Indonesia memiliki sembilan program strategi implementasi NDC, yaitu pengembangan ownership dan komitmen; Pengembangan kapasitas; Enabling environment; Penyusunan kerangka kerja dan jaringan komunikasi; Kebijakan satu data GRK; Penyusunan kebijakan, rencana dan program intervensi; Penyusunan guidance implementasi NDC; Implementasi NDC dan Pemantauan dan review NDC. (sp/sumber : humas prov aceh/foto : arto marttinen, unsplash)