Kita hanya manusia biasa. Begitu ada kabar jika Peter Apollonius Rohi meninggal dunia, ikhtiar untuk kesehatan beliau pun terhenti. “Bapak meninggal di Rumah Sakit Katolik St Vincentius a Paulo di Surabaya pukul 06.45 WIB,” kata Don Peter, putera Peter A. Rohi.
Dari Don kami dapat kabar, karena situasi dan kondisi, Pak Peter diperlakukan seperti pasien Covid-19. “Pak Peter akan segera dimakamkan di Keputih, maksimum lima jam setelah meninggal. Jika perhitungan saya tidak keliru, pemakaman jam 11 siang ini,” kata Don.
***
Peter Apollonius Rohi lahir di Nusa Tenggara Timur (NTT) 14 November 1942. Sejak tahun 1970-an, ia sudah akrab dengan dunia menulis. Dari penyair, lalu jurnalistik. Ia pernah bekerja di Sketsmassa, Suara Indonesia, Trem, Pikiran Rakyat, Suara Indonesia, Jayakarta, Surya, Suara Bangsa, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Mutiara, Koran Indonesia, dan lain-lain.
Berbeda tempat bekerja, Peter tak pernah berbeda dalam membuat standar karya. Ia selalu bersungguh-sungguh. Beberapa kali mendengar cerita tentang perjalanan jurnalistiknya, kesan saya hanya satu ; dialah kamus berjalan investigative reporting Indonesia. Dia dengan mudah menjawab pertanyaan tentang menyamar dalam jurnalistik, target berjurnalistik, jurnalisme yang tidak tergesa, dan masih banyak lagi.
Saat menjadi narasumber dalam Forum ‘Rasan-rasan Serius Media Cetak tak Pernah Padam’, forum bulanan Klub Jurnalistik, Jumat (29/1/2016), wartawan senior dan sejarawan independen ini pernah bercerita, bagaimana suatu saat mesti mengarungi sungai dengan perahu kecil demi mencapai tempat liputan pada malam hari.
“Malam hari, berkabut, persis film horor,” candanya. Ia juga biasa bekerja dalam batas kesabaran, macam duduk berjam-jam di atas kerbau untuk mendata nomor polisi kendaraan yang melintas, bahkan bersabung nyawa gara-gara liputan penembak misterius, dan lain sebagainya.
Ia juga rela berlama-lama di sebuah tempat, bolak-balik ribuan kilometer, mencari data dan meyakinkan banyak orang, demi menyelamatkan warga desa yang tanahnya akan amblas di telan bumi.
“Kita selalu bekerja untuk prioritas yang lebih besar. Karena tujuan kita berjurnalistik sudah jelas. Bukan untuk kita, tapi orang lain. Kelompok yang harus diselamatkan, atau mereka yang ditindas,” katanya.
Bicara prioritas, ia lantas berkisah, suatu saat pernah dapat tawaran membuat liputan di Jepang. Ia balik bertanya, “Berapa biayanya? Lebih baik dipakai liputan ke pulau-pulau terpencil di Indonesia”.
Peter meyakini, begitu banyak hal yang lebih penting untuk diungkap di Bumi Nusantara kita. Tentang keindahan Indonesia, warga pedalaman yang terancam industrialisasi, hingga minimnya jaminan penegakan hukum di masyarakat. Bukan Jepang, pun negeri-negeri lain di dunia.
Tokoh yang memiliki peran besar dalam rekonstruksi sejarah Soekarno, Presiden RI pertama ini juga pernah membuat kritik. Betapa media cetak yang ada saat ini, banyak yang terjebak pada pemberitaan seremonial atau narasumber tunggal.
“Saya pernah membandingkan beberapa koran terbitan Jakarta. Headline-nya sama. Ini kan aneh,” kata dia.
Peter percaya, dalam berjurnalistik ada dua gagasan sederhana. Jika kita tidak mampu menyuguhkan informasi lebih cepat atau eksklusif, maka kita harus mampu membuat liputan yang jauh lebih lengkap, mendalam, dan lebih mampu bersuara. Tanpa itu, tak perlu ada pemberitaan ulang atau duplikasi.
Karena itu pula Peter kemudian mengingatkan. Hutan sudah berkorban banyak untuk kita. Untuk kertas koran, berapa hektar hutan yang dikorbankan? Jadi, kata Peter, jangan pernah sia-siakan pengorbanan itu dengan memunculkan berita sampah di surat kabar.
Sebagai wartawan generasi cetak, Peter Apollonius Rohi bukannya anti teknologi. Ia pernah berkolaborasi dalam project video dokumenter tentang Bung Karno, lalu video ini disevar lewat kanal Youtube dan website.
Jauh sebelumnya, di sebuah rapat redaksi Sinar Harapan, ia pernah mengingatkan. “Sebentar lagi kita akan berkenalan dengan teknologi yang memungkinkan pemberitaan bisa terdistribusi cepat bahkan seketika. Jika tidak ada antisipasi, media cetak akan tergulung habis,” kata Peter di depan peserta forum bulanan Klub Jurnalistik, di Warung Mbah Cokro, Surabaya, Jumat (29/1/2016).
Teknologi, kata Peter, adalah keniscayaan. Tak ada yang bisa melawan. Yang bisa dilakukan adalah mengakrabi, menjadikannya sebagai booster agar suara kebenaran lebih terdengar.