Siang itu, sekitar 80 anak sekolah dasar datang berkunjung di Sanggar Gubuk Wayang (SGW). Suasana yang semula hening, langsung riuh suara anak-anak. Ada yang tertawa, bergerak-gerak karena ingin tahu, dan entah apa lagi.
Maklum, di sanggar yang terletak di Jl Raden Ajeng Kartini 23, Mojokerto, Jawa Timur ini, tersimpan berbagai wayang, keris, topeng, dan masih banyak koleksi lainnya.
SGW sendiri terbuka untuk umum, dan bisa dikunjungi setiap hari Selasa sampai Minggu pukul 09.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB. Sanggar ini milik seorang pengusaha asal Mojokerto bernama Yansen, yang didirikan sebagai bentuk kecintaan sang pemilik pada budaya Nusantara.
Hanya dengan membayar Rp 30 ribu untuk mahasiswa dan umum, atau Rp 15 ribu untuk siswa sekolah, kita sudah dapat melihat berbagai jenis koleksi di SGW yang sangat mengagumkan. Belum lagi iringan lagu-lagu dari berbagai daerah di Indonesia yang membuat suasana makin menyenangkan.
Di sanggar ini, kita bisa melihat berbagai jenis produk kesenian khas yang menggantung di dinding dan etalase. Juga koleksi yang memiliki nilai sejarah di Indonesia. Termasuk, koleksi boneka Si Unyil.
Dalam sanggar ini memang tersimpan 154 boneka Si Unyil yang populer pada tahun 1980-an. Katanya, boneka-boneka itu diserahkan sendiri oleh Drs Soerjadi alias Pak Raden, pembuat dan pendongeng cerita Si Unyil. Tak tanggung-tanggung, ia juga memberikan kumis serta tanda tangannya kepada Sanggar Gubuk Wayang, sebagai tanda apresiasi dan perasaan bangganya.
Di SGW, pengunjung juga bisa melihat koleksi replika tokoh-tokoh negara. Diantaranya Presiden Pertama RI Ir. Soekarno, Presiden RI Jokowidodo, pencipta lagu Indonesia Raya WR Soepratman, dan berbagai wayang replika lainnya.
Sanggar yang diresmikan pada 15 Agustus 2015 ini memiliki berbagai koleksi wayang, mulai dari wayang kulit, wayang pring, wayang potehi hingga wayang golek. “Kami juga memiliki wayang pring, wayang yang dibuat orang zaman dahulu yang tinggal di sekitar kaki gunung,” jelas Didi Hata, salah satu guide di Sanggar Gubuk Wayang.
“Jadi ceritanya, orang-orang pegunungan susah untuk mendapat bahan membuat wayang. Sehingga mereka membuat wayang menggunakan lidi. Tapi lidinya masih muda dan lentur, agar lebih mudah dibentuk seperti wayang ini,” jelasnya.
Sanggar Gubuk Wayang, lanjutnya, juga membuka kelas karawitan bagi siswa SD yang berminat. Semua cuma-cuma. Tidak hanya membuka kelas, SGW juga beberapa kali mengadakan pagelaran wayang, bahkan membantu jadi pemain karawitan dalam berbagai pertunjukan wayang. (tamara elberta s, angelia)