Mendung menggelantung di langit Surabaya. Bergerak sore, aktifitas berjalan biasa saja. Tukang parkir menata sepeda motor yang berserakan, ibu penjual gorengan meniris dagangannya. Sementara jalan setapak di perkampungan, riuh diwarnai canda anak-anak kecil. Tak perduli jadi perhatian banyak orang, termasuk beberapa orang tua yang mencoba sabar menanti anaknya di depan SMPK Dharma Mulia, Jl Dukuh Kupang Barat.
Suasana ini berbanding terbalik dengan keadaan di salah bangunan yang ada di sana, Panti Werdha Usia Anugerah. Karena saat masuk di tempat ini, kita langsung dipaksa mengakrabi sepi. Ruang yang hening, senandung doa lirih, sesekali suara batuk dan gumam yang tak jelas.
Panti werdha atau rumah jompo, seolah ruang khusus yang tak terjamah dinamika kota metropolis. Berisi mereka yang merasa bahwa kehadiran, kehangatan, dan kenikmatan sudah terasa memudar. Kini, hal yang bisa mereka lakukan hanyalah berserah diri kepada Tuhan.
Panti Werdha Usia Anugrah berdiri di bawah yayasan yang dimiliki oleh Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Dibentuk pada 1982, bekerja dalam waktu yang nyaris tak bersuara. Hingga kini sudah berganti kepengurusan sebanyak empat kali.
Bangunannya memiliki dinding bercorak dan cat berwarna biru yang dominan. Di lantai dua terdapat sebuah gereja yang dapat digunakan oleh siapa saja. Sumber di tempat ini mengatakan, dulu, bangunan ini adalah panti asuhan. Katanya, ada belasan anak di sana. Mereka dirawat, diasuh, dan dididik hingga beranjak dewasa, bekerja, dan menikah.
Sampai tahun 1990-an, panti asuhan ini menutup jalan ceritanya. “Karena tidak ada yang meneruskan untuk mengelola,” kenang Oma Kalsum, pengasuh di Panti Werdha Usia Anugerah. Perempuan yang mengabdi sejak awal berdirinya panti ini berkisah, tak lama kemudian, panti asuhan itu berubah menjadi panti jompo dengan nama Panti Werdha Usia Anugrah.
Lokasi panti tidak berpindah. Tetapi dimodifikasi pada sisi tata letak. Agar lebih enak untuk dipandang. Termasuk penambahan hiasan lampu dan beberapa gambar dalam pigura.
Namun seindah apapun suasana di bangun, kejadian-kejadian emosional selalu terjadi. Seperti saat panti kedatangan nenek-nenek sebatang kara. Cerita sedihnya memunculkan haru di kalangan pengasuh. Membayangkan bagaimana seseorang tak lagi memiliki saudara, anak, orang tua, atau siapapun yang masih bisa mengasihinya.
Pernah juga, ada perempuan tua mengaku ingin pergi menemui anaknya. Para pengasuh langsung melarang. Karena mereka tahu pasti, nenek itu sesungguhnya sudah tak memiliki rumah dan anak. Ia sebatang kara, tak punya apa-apa.
Mereka yang kemudian tinggal di panti ini rata-rata hidup sebatang kara. Ditinggal suami atau anak-anaknya sejak masih muda. Beberapa, malah sudah menikah lebih dari satu kali. Tapi apa daya, takdir tetap berkehendak tak sesuai harapan.
Saat langit beranjak gelap, lonceng berbunyi. Waktunya berkumpul sambil menikmati hidangan. Sesudah menikimati makan malamnya, mereka berjalan pelan untuk beribadah di gereja. Di antara mereka, ada yang sudah tidak bisa melakukannya. Karena tidak mampu berjalan ke gereja. (enggal hendy, zahrina atikah)