Di tengah santernya pemberitaan pemerintah mengimpor cangkul dari Cina, para perajin cangkul tradisional tidak terpengaruh dengan isu tersebut. Salah satunya Sholikhin, warga Desa Cipelem, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Selepas belajar dari orangtuanya, Mbah Yusuf, pada tahun 1970, Sholikhin mendirikan usaha pembuatan dan service cangkul yang bertahan hingga saat ini. “Modal awal saya saat itu sejuta. Itu saya gunakan untuk membeli peralatan seperti palu besar, arang, besi atau baja plat untuk cangkul, sabit, cakram, serta grenda,” tutur Empu, panggilan Sholikhin, 63 tahun.
Bersama12 karyawannya, Solikhin setiap hari memproduksi sekitar enam cangkul. Semua dikerjakan secara tradisional tanpa menggunakan mesin canggih. Penjualannya juga dilakukan dari mulut ke mulut. Sebagian besar pelanggannya adalah pemilik toko peralatan pertanian yang memesan cangkul dalam jumlah besar untuk dijual kembali serta para petani di wilayahnya.
Cangkul buatan Solikhin dijual ke berbagai kota seperti Tegal, Pemalang, Demak, Pekalongan, Subang, Cirebon, Pamanukkan hingga Demak. Dalam sehari ia mampu memproduksi serta memperbaiki kurang lebih 40 cangkul dengan lama pembuatannya 2-3 jam per cangkul. Cangkul buatannya terbuat dari baja, sehingga banyak diminati pelanggan.
Cangkul yang ia buat dibandrol dengan harga sekitar Rp 250 ribu. Sedangkan biaya perbaikan hanya Rp 40 sampai Rp 50 ribu, tergantung kesulitan dan kerusakannya.
Sholikhin mengatakan, usaha cangkulnya tidak terpengaruh dengan pemberitaan yang beredar dengan maraknya cangkul dari Cina. Pasalnya, cangkul buatan Sholikhin memiliki kekhususan dibuat untuk pertanian. Sedangkan, cangkul buatan Cina itu untuk proyek pembangunan. Selain itu, cangkul buatan Sholikhin memiliki kualitas lebih bagus jika dibandingkan dengan cangkul buatan Cina.
“Kalau cangkul saya secara kualitas jauh lebih bagus dibanding yang buatan Cina. Cangkul buatan saya bisa digunakan 5-10 tahun, sedangkan cangkul buatan Cina mungkin setahun sudah rusak,” tandas Sholikhin.
Apa yang disampaikan oleh Sholikhin diaminin oleh Anto, salah satu karyawan Sholikhin yang juga aktif sebagai petani. “Pembuatan cangkul di sini jelas tidak terpengaruh sama sekali. Cangkul buatan Cina itu tidak bisa dibuat untuk pertanian lebih lebih tanah liat seperti di Brebes ini. Kalau cangkul buatan Empu Sholikhin ini memang khusus untuk pertanian dan tanah liat,” sahutnya.
Dari sisi harga saja, lanjut Anto, sudah jauh dengan harga buatan Empu Sholikhin. Kalau cangkul buatan Cina harga dipasaran Rp 35-40 ribu, sedangkan cangkul buatan Empu Sholikhin dijual dipasaran antara Rp 250 ribu.
“Sayangnya, pemerintah Kabupaten Brebes kurang mengetahui jika di daerah Cipelem ini ada pembuatan cangkul yang kualitasnya diakui terbaik seIndonesia,” keluh Anto.
Selain tidak terpengaruh dengan merebaknya produk cangkul dari Cina, usaha pembuatan dan perbaikan cangkul milik Sholikhin ini, telah mampu memberdayakan pemuda-pemudi Desa Cipelem. Yanti, satu-satunya karyawan wanita di tempat usaha Sholikhin. Wanita berusia 25 tahun ini, sudah setahun ini bekerja bersama Sholikhin.
“Alhamdulillah, dengan adanya usaha Empu Sholikhin ini, saya dan teman-teman bisa mendapatkan penghasilan. Selain itu pula, keinginan saya ingin melestarikan kerajinan lokal ini agar bisa terus eksis dan semakin berkembang,” tutur Yanti, yang juga merupakan cucu dari Mbah Yusuf serta keponakan Sholikhin.
naskah dan foto : didik sulaeman
FOTO SELENGKAPNYA KLIK GALLERY