Centhini Bungkus lahir sebagai tafsir terhadap kitab Serat Centhini Jilid VII, yang berbicara tentang 40 hari 40 malam pernikahan Seh (Syekh) Amongraga dan Ni Ken Tambangraras. Serat Centhini, biasa disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, dikenal sebagai salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru.
Serat ini disusun berdasar cerita tentang perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya.
“Centhini adalah saksi wejangan Amongraga saat membimbing Tambangraras tentang ajaran etika seksualitas perempuan Jawa yang kini terbungkus dengan sajian Arab. Mengapa harus menjadi Arab, bila perempuan Jawa yang Islam masih begitu anggun tetapi tidak diterapkan,” ujar Heri Lentho, sutradara Centhini Bungkus, pementasan yang digelar di Gedung Kesenian Balai Pemuda, Surabaya, Sabtu (12/11/2016), sejak pukul 19.00 WiB lalu.
Centhini Bungkus disajikan oleh Komunitas Seni JatiSwara Indonesia, dengan memadu konsep pertunjukan seni tari dan perkusi. “Selain sebagai pentas budaya, acara ini juga bertujuan untuk memelihara kebebasan berpikir dan berekpresi, menghormati perbedaan dan keragaman, serta menumbuhkan kebaharuan seni pertunjukan dan menyebar luaskan kekayaan artistik Indonesia,” papar Heri lagi.
Veteran Perang
Selain Centhini Bungkus yang menyajikan gerak tari yang estetis, malam itu pengunjung juga disuguhi Gelar Teater Tari Panca Door dan Orkestra Perkusi Ramayana Opera Kesetiaan. Gelar Teater Panca Dor bercerita tentang veteran perang yang mengalami gangguan jiwa, sehingga sukamentertawakan dirinya sendiri. Ia juga terus mentertawakan keadaan negeri yang jauh dari harapan.
Sementara Orkestra Perkusi Ramayana Opera Kesetiaan, menyuguhkan aksi musikal khas Banyuwangi. Selain konstalasi dinamis, orkestra perkusi ini seolah jadi penyulut energi di tengah pertunjukan.
naskah dan foto : pandu pratama
FOTO SELENGKAPNYA KLIK GALLERY