Industri manufaktur nasional masih menunjukkan geliat yang positif. Hal ini jadi signal positif untuk perluasan usaha, dengan didorong meningkatnya permintaan dari pasar domestik dan ekspor. Ini terlihat dari indeks manajer pembelian (purchasing manager index/PMI) Indonesia di posisi 50,4 pada September 2017.
“Kami optimistis pertumbuhan industri hingga akhir tahun 2017 masih cukup baik, seiring realisasi dari investasi di berbagai sektor industri,” kata Sekjen Kementerian Perindustrian Haris Munandar di Jakarta, Sabtu (7/10). PMI yang dirilis oleh Nikkei dan Markit tersebut, ketika indeks di atas 50 menandakan manufaktur tengah ekspansif.
Kemenperin mencatat, nilai investasi PMDN sektor industri pada semester I tahun 2017sebesar Rp52,11 triliun atau naik sebesar 2,80 persen dibanding periode yang sama tahun 2016 sebesar Rp50,70 triliun. Investasi PMDN sektor industri ini memberikan kontribusi sebesar 40,15 persen dari total investasi PMDN pada semester I/2017 sebesar Rp129,80 triliun.
Sedangkan, nilai investasi PMA sektor industri sampai dengan pada semester I/2017 mencapai USD7,06 miliar. Investasi PMA sektor industri ini memberikan kontribusi sebesar 45,43 persen dari total investasi PMA pada semester I/2017 sebesar USD15,53 miliar.
Haris pun meyakini, daya beli masyarakat Indonesia masih cukup tinggi. Ini terbukti salah satunya dari hasil penjualan kendaraan di pameran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2017. Hingga acara ditutup, sebanyak 21 ribu kendaraan terjual atau naik dibanding tahun sebelumnya mencapai 20.384 unit. “Di berbagai pameran, kita lihat daya beli tidak menurun,” ujarnya.
Aktivitas ekonomi di Indonesia yang masih agresif, juga diperlihatkan dari kenaikan penggunaan jasa kurir hingga 130 persen di akhir September ini karena pergeseran transaksi dari offline ke online. Selain itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik mencapai 12,14 persen. Bahkan, pertumbuhan penerimaan pajak dari industri juga naik sebesar 16,63 persen dibanding tahun lalu.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan, instansinya bertekad memacu pertumbuhan industri pengolahan non-migas sebagai sektor yang selam ini memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional. Untuk itu, Kemenperin berperan menarik investasi di sektor industri.
“Kami pun fokus pada hilirisasi industri, selain sebagai penggerak utama ekonomi di Indonesia, industri mampu membawa multiplier effect melalui peningkatan nilai tambah bahan baku lokal, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan devisa dari ekspor,” paparnya.
Melalui deregulasi yang dilakukan pemerintah, diharapkan pula turut menciptakan iklim investasi yang kondusif serta memudahkan para pelaku industri berusaha di Indonesia. “Kami optimistis pertumbuhan industri nasional pada semester selanjutnya dapat lebih baik lagi seiring implementasi berbagai paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah,” tuturnya.
Pada triwulan II tahun 2017, industri pengolahan non-migas memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai 17,94 persen. Sumbangan ini terbesar dibanding sektor lainnya, seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan sekitar 13,92 persen, konstruksi 10,11 persen, serta pertambangan dan penggalian 7,36 persen.
Kemenperin juga mencatat, cabang industri pengolahan non-migas yang mengalami pertumbuhan tertinggi di atas pertumbuhan ekonomi pada triwulan II/2017 dicapai oleh industri logam sebesar 7,50 persen, industri kimia, farmasi dan obat tradisional 7,38 persen, serta industri makanan dan minuman 7,19 persen.
Berdasarkan data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), tahun ini Indonesia menduduki peringkat ke-9 di dunia untuk Manufacturing Value Added atau naik dari peringkat tahun sebelumnya di posisi ke-10. Peringkat ke-9 ini sejajar dengan Brazil dan Inggris, bahkan lebih tinggi dari Rusia, Australia, dan negara ASEAN lainnya. (sp/dodo is/foto : emir k)