Menapaki Jl Karet, Surabaya, kita akan melihat banyak bangunan kuno dengan arsitektur Tiongkok yang kental. Lengkap dengan ornamen dan warna yang khas, bangunan-bangunan ini menyempurnakan imaji Kampung Pecinan Surabaya.
Di antara bangunan-bangunan itu, dengan mudah kita akan menemukan Rumah Abu Keluarga Han, rumah yang diyakini sudah berdiri sejak 1700-an.
Tiba di depan rumah ini, kita akan melihat ukiran berbentuk lingkaran yang cukup besar. Lalu dua buah patung berbentuk kepala manusia di sebelah kanan dan kiri atas pintu masuk. Relief dan patung yang terbuat dari kayu itu berwarna coklat kehitaman.
Di bagian dalam rumah, terdapat seperangkat meja dan kursi kuno. Selain itu juga lampu gantung bergaya klasik. Sementara di dinding ruangan, terdapat beberapa lukisan kuno tentang Keluarga Han. Di sisi lain, nampak foto-foto kuno yang gambarnya sudah memudar dimakan jaman.
Dalam ruangan yang luas itu juga terdapat meja altar untuk bersembahyang, menghormati leluhur keluarga. Altar yang indah itu dihiasi ukiran dan relief dengan warna yang apik.
Keindahan itu juga tampak pada bagian langit-langit dan panel kayu yang dihiasi huruf Tiongkok dan ukiran-ukiran bermotif satwa. Seperti burung, kili, dan lain sebagainya.
Saat berjalan di sisi belakang, nampak sumur tua yang masih digunakan hingga saat ini. Di bagian belakang ini juga terdapat hunian yang biasa digunakan Keluarga Han yang baru datang dari Tiongkok, dan belum memiliki tempat tinggal di Indonesia.
Bagi banyak traveler, Rumah Abu Keluarga Han adalah tujuan wajib. Selain tertarik pada bentuk bangunan dan sejarahnya, di antara mereka ada juga yang ingin membuktikan cerita-cerita yang banyak beredar di sini.
“Dahulu rumah ini dianggap mistis oleh warga sekitar. Karena banyak yang mengatakan pernah melihat makhluk astral menyerupai Panglima Perang,” ungkap Ponirah, penjaga Rumah Abu Keluarga Han.
Ia masih ingat, gara-gara cerita ini, orang kerap enggan melintas di depan rumah. Bahkan ada yang tiap lewat buru-buru mempercepat langkah.
Dulu, kata Ponirah, ia memang pernah melihat sosok itu. Baik di dalam maupun luar rumah. Meski takut ia tetap bersedia menjaga rumah. “Sudah 50 tahun menjaga rumah ini,” akunya.
Dari takut, Ponirah mulai terbiasa. Setengah bercanda ia malah berkata, “Awalnya merasa takut, lama-lama sudah seperti teman”.
Bercerita tentang Rumah Abu Keluarga Han, Ponirah mengaku jika semua aman-aman saja. Apalagi sejak menjadi Cagar Budaya Kota Surabaya sejak 8 Januari 2013, rumah ini mulai sering dikunjungi orang.
“Ini rumah keluarga yang sudah ada pada tahun 1727 – 1728,” katanya. Meski dikenal sebagai rumah abu, lanjutnya, bangunan ini sesungguhnya tidak menyimpan abu orang yang sudah meninggal.
Yang ada hanya kayu-kayu simbolis yang disebut sinci atau papan arwah. Di bilah papan itu ada tulisan Tiongkok yang menjelaskan nama-nama leluhur Keluarga Han yang telah meninggal.
Secara fungsi, rumah ini lebih banyak digunakan sebagai tempat bersembahyang dan menghomati leluhur. “Jadi rumah ini hanya digunakan oleh keturunan Han, tidak untuk tempat persembahyangan umum,” kata Ponirah.
Kegiatan persembahyangan itu dilakukan setiap tanggal 1 dan 15 di setiap bulan, tentu saja dalam penanggalan Cina. Kegiatan itu biasanya dilakukan pada pukul 07.00 hingga 09.00 WIB dan 15.00 hingga 17.00 WIB.
Menurut Ponirah, sejarah keluarga ini diawali oleh Han Siong Kong yang berasal dari Tiongkok. Ia tiba kali pertama di Indonesia pada tahun 1673. Saat itu Han Siong Kong datang ke kota pesisir Lasem.
Kemudian salah satu keturunannya, Han Bwee Koo, datang ke Surabaya dan diangkat menjadi Kapiten der Chineezen atau Wakil Pemerintah Kolonial Belanda yang memimpin orang-orang Tionghoa di Surabaya.
“Sehari sebelum Sincia atau Tahun Baru Imlek, warga Tionghoa mengadakan sembahyang leluhur. Semua keluarga baik dekat maupun jauh berkumpul untuk memberikan penghormatan kepada para leluhur,” jelas Ponirah.
Penghormatan itu dilakukan dengan cara membakar kertas berisi nama-nama leluhur yang telah tiada di sebuah wadah besar.
Pada saat itu di Rumah Abu Keluarga Han disajikan berbagai perlengkapan sembahyang. Termasuk buah-buahan dan lauk pauk. Mulai dari kepiting, ikan, babi, ayam, bebek dan kue-kue basah. Seperti kue keranjang, kue wajik, kue mangkok, kue pia, kue nian gao, muaco, lauwa, thong chiu pia , dan kue thok.
Untuk minuman ada putao chee chiew, sejenis anggur rendah alkohol. Dan, tentu saja, tebu sebagai simbol dan harapan agar di tahun yang baru ini semua keluarga diberikan rezeki. (naskah dan foto : zohan januari/himmarfi)